PARAS: Tujuh Helai Dendam

PARAS

by Rinnuna

...

Bab 1: Benang Hitam di Bawah Kulit

Dunia ini milik mereka yang berisik.

Siti tahu itu. Dia mempelajarinya setiap hari selama tiga tahun bekerja di marketplace gudang baju ini. Dia belajar sambil duduk di sudut ruangan yang lampunya sering kedip-kedip, menatap layar komputer yang menampilkan barisan angka penjualan.

Di ruang sebelah, di balik partisi kaca yang memisahkan kasta, suara tawa yang dibuat-buat itu meledak lagi.

“Etalase lima ya, Sayang! Jangan lupa checkout sebelum kehabisan! Warnanya sage green cakep banget!”

Suara Desi. Anak baru. Umurnya baru dua puluh satu, kulitnya seperti porselen, dan dia tidak tahu cara menggunakan Excel. Tapi gaji Desi tiga kali lipat gaji Siti.

Siti menunduk. Jari-jarinya mengetik resi pengiriman. Tik, tik, tik. Irama yang membosankan. Irama orang yang tidak penting.

Dia melihat pantulan wajahnya di layar monitor yang gelap saat loading. Wajah itu rata. Hidung yang tidak mancung tapi juga tidak pesek. Mata yang lelah dengan kantung hitam menggantung. Kulit sawo matang yang kusam karena terlalu sering kena AC dan kurang kena matahari. Wajah yang kalau hilang di keramaian pasar, tidak akan ada yang sadar.

“Mbak Siti,” panggil Pak Bos. Pintu ruangannya terbuka.

Siti langsung berdiri. Refleks buruh yang takut dipecat. “Ya, Pak?”

Pak Hadi tidak melihat matanya. Dia melihat ke arah kertas di tangan Siti. “Itu laporan stok opname bulan lalu mana? Kok belum ada di meja saya?”

“Sudah saya taruh tadi pagi, Pak. Di tumpukan map biru.”

“Masa?” Pak Hadi menggaruk kepalanya yang mulai botak. Dia menoleh ke arah ruang kaca, tempat Desi sedang joget-joget kecil di depan kamera HP. Wajah Pak Hadi langsung berubah cerah. Senyum kebapakan yang menjijikkan muncul. “Des, suaranya dikit lagi dong! Biar semangat!”

Desi melambaikan tangan genit. “Siap, Bapak Ganteng!”

Pak Hadi tertawa. Lalu dia menoleh lagi ke Siti. Senyumnya hilang. Wajahnya kembali datar seperti tembok beton. “Ya sudah. Cari lagi laporannya. Jangan teledor. Kamu ini admin senior tapi kerjanya kayak magang.”

Pintu ditutup.

Siti duduk kembali. Tangannya gemetar di atas keyboard. Bukan karena marah. Tapi karena dia merasa mengecil. Rasanya tubuhnya menyusut menjadi butiran debu.

Dia ingin berteriak kalau dia yang membereskan kekacauan stok gudang minggu lalu. Dia ingin bilang kalau dia yang sering lembur tanpa dibayar.

Tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Tersangkut di sana, menjadi gumpalan pahit yang bernama nasib.

Siti mengambil tasnya dan berjalan keluar ruangan. Di pintu kaca, dia berpapasan dengan Desi yang hendak masuk. Bahu mereka bersenggolan cukup keras. Siti terhuyung, hampir jatuh. Namun, Desi terus berjalan sambil tertawa melihat layar HP-nya, seolah dia baru saja menabrak angin kosong.

Desi tidak menoleh. Desi tidak minta maaf. Bagi Desi, Siti adalah partikel tak kasat mata yang tidak memiliki massa.

Saat itulah, sesuatu di dalam dada Siti retak. Bukan karena sakit fisik, tapi karena kesadaran yang mengerikan: dia bisa saja mati di kantor ini sekarang, dan mayatnya baru akan ditemukan saat baunya mengganggu kenyamanan orang lain.

Malam itu, Siti tidak langsung pulang ke kost.

Hujan turun rintik-rintik, membuat jalanan aspal menguapkan bau tanah basah. Siti berjalan menyusuri gang sempit di pinggiran kota, mengikuti petunjuk dari secarik kertas lecek yang dia dapat dari tukang sayur langganannya.

Rumah Panggung Kayu Jati. Pagar Bambu Hitam.

Siti menemukannya. Rumah itu terjepit di antara dua bangunan ruko walet yang tinggi menjulang. Rumah itu tampak tua, rapuh, dan lelah. Sama sepertinya.

Jantung Siti berdegup kencang. Dia orang yang logis sebenarnya. Dia percaya kerja keras. Tapi kerja keras saja ternyata tidak cukup untuk mengubah nasib wajah pas-pasan.

Dia mengetuk pintu.

“Masuk. Tidak dikunci.”

Suara dari dalam terdengar berat dan serak.

Siti mendorong pintu kayu itu. Engselnya menjerit. Bau kemenyan menyambutnya, tapi bukan bau kemenyan wangi seperti di acara selamatan. Ini bau kemenyan yang dicampur sesuatu yang apek. Seperti bau baju yang tidak kering dijemur.

Di tengah ruangan yang remang-remang, duduk seorang laki-laki tua. Mbah Darmo. Dia tidak memakai jubah hitam atau aksesoris dukun yang berlebihan. Dia hanya memakai kaos kutang putih yang sudah melar dan sarung kotak-kotak. Dia sedang merokok klobot, asapnya tebal memenuhi ruangan.

“Duduk, Nduk,” katanya tanpa menoleh. Matanya sibuk menatap asap rokoknya sendiri.

Siti duduk bersimpuh di atas tikar pandan yang terasa tajam di lutut.

“Saya... saya Siti, Mbah.”

“Saya tahu kamu bukan artis,” Mbah Darmo terkekeh. Giginya kuning kecokelatan. “Orang yang datang ke sini cuma punya dua masalah. Kalau tidak soal uang, ya soal cinta. Kamu yang mana?”

“Saya ingin dilihat, Mbah,” bisik Siti. Suaranya pecah.

Mbah Darmo menoleh. Matanya keruh, ada selaput putih di pinggir kornea. Tatapannya membuat Siti ingin menutupi wajahnya dengan tas.

“Dilihat itu berat, Nduk. Mata manusia itu jahat. Kamu yakin kuat?”

“Saya capek dianggap tidak ada. Saya capek kalah sama yang modal cantik doang. Saya mau orang-orang mandang saya. Saya mau mereka segan.”

Mbah Darmo mengangguk-angguk. Dia mematikan rokoknya di asbak yang terbuat dari batok kelapa.

“Kamu mau susuk? Emas? Berlian? Samber lilin?”

Siti menggeleng. “Uang saya tidak banyak, Mbah.”

Mbah Darmo tersenyum miring. Dia merogoh saku celana komprang yang tergeletak di sampingnya. Dia mengeluarkan sebuah bungkusan kain hitam kecil. Lusuh. Berminyak.

“Kalau begitu, kamu jodohnya sama yang ini. Murah. Tapi daya pikatnya... jangan ditanya.”

Mbah Darmo membuka bungkusan itu.

Siti menahan napas. Dia membayangkan akan melihat jarum emas atau batu permata kecil.

Tapi yang ada di sana adalah gumpalan rambut.

Rambut hitam, panjang, dan kusut. Rambut itu ditenun, dipilin menjadi simpul-simpul kecil seukuran biji beras. Warnanya hitam pekat, tapi kalau kena cahaya lampu templok, ada kilatan merah samar.

Baunya aneh. Bau tanah kuburan dan bunga kantil yang sudah layu.

“Rambut apa ini, Mbah?” tanya Siti ragu.

“Rambut Kembang,” jawab Mbah Darmo santai. “Dari wanita-wanita yang semasa hidupnya jadi rebutan. Energinya masih sisa di sini. Kuat. Liar. Ini akan bikin aura kamu ‘hidup’.”

Siti menelan ludah. “Aman, Mbah?”

“Aman. Asal jangan dibawa nyebrang laut. Jangan makan pisang emas. Sudah, itu saja.”

Siti diam sejenak. Bayangan wajah Desi yang tertawa, wajah Pak Bos yang meremehkan, dan tatapan kosong orang-orang di jalanan berputar di kepalanya.

“Pasang, Mbah.”

Mbah Darmo menyuruh Siti mendekat. Dia mengambil silet dari kaleng biskuit bekas. Silet berkarat di ujungnya. Dia tidak mengusap alkohol. Dia tidak membaca mantra panjang lebar.

Dia hanya mengambil satu simpul rambut itu dengan pinset.

“Tahan napas. Sakit sedikit. Cantik itu memang sakit.”

Siti memejamkan mata erat-erat. Tangannya meremas ujung baju.

Terasa dingin logam menyentuh kulit pelipis kanannya.

Sret.

Perih. Panas. Kulitnya robek sedikit. Darah hangat mengalir turun ke pipi.

Lalu, sensasi itu datang.

Saat Mbah Darmo memasukkan gumpalan rambut itu ke dalam luka sayatan, rasanya bukan seperti benda mati yang masuk.

Rasanya seperti ada serangga hidup yang menggeliat.

Siti mau berteriak, tapi suaranya tercekat. Benda itu bergerak di bawah kulitnya, mencari jalan, merayap masuk lebih dalam, menyatu dengan daging.

“Sudah,” kata Mbah Darmo. Dia menekan luka itu dengan ibu jarinya yang kasar.

Anehnya, rasa sakit itu hilang seketika. Luka sayatan itu menutup sendiri, menyisakan garis merah tipis yang samar.

Siti membuka mata. Napasnya memburu. Keringat dingin membasahi punggung.

“Sudah?” tanyanya tak percaya.

Mbah Darmo sudah kembali menyalakan rokoknya. “Sudah. Pulang sana. Besok pagi, dunia bakal beda.”

Siti meraba pelipisnya. Ada benjolan kecil di sana. Keras. Tapi saat dia tekan, rasanya benda itu berdenyut. Seirama dengan jantungnya.

Besok paginya, Siti bangun kesiangan. Alarm HP-nya mati atau dia yang tidak dengar. Dia panik. Mandi asal-asalan, pakai baju kemeja flanel yang biasa, celana bahan hitam yang agak kedodoran. Dia tidak sempat pakai bedak.

Dia lari mengejar bus kota. Biasanya, kondektur bus akan membiarkannya lari sampai ngos-ngosan baru berhenti, atau malah ditinggal.

Tapi kali ini, bus itu berhenti tepat di depannya. Pintu terbuka.

Kondektur yang wajahnya sangar itu tersenyum. “Pelan-pelan, Neng. Nanti jatuh.” Dia bahkan mengulurkan tangan membantu Siti naik.

Siti bingung. Dia duduk di bangku belakang. Seorang bapak-bapak di sebelahnya langsung geser, memberi ruang yang lega. “Silakan, Mbak.”

Apa ini?

Sampai di kantor, Siti telat sepuluh menit. Dia sudah siap kena semprot Pak Hadi. Dia berjalan menunduk menuju mejanya.

Suasana kantor hening saat dia masuk.

Siti mengangkat kepala.

Semua orang melihatnya.

Satpam di depan pintu, office boy yang sedang mengepel, bahkan Desi yang sedang touch up di balik kaca. Mata mereka tertuju pada Siti.

Bukan tatapan mengejek.

Tatapan lapar. Tatapan kagum.

“Pagi, Siti,” sapa Pak Hadi. Dia muncul dari ruangannya. Tidak ada nada marah. Suaranya lembut, hampir bergetar. “Kamu... kamu potong rambut ya? Kok beda?”

Siti meraba rambutnya yang dikuncir kuda asal-asalan. “Enggak, Pak.”

“Oh. Kelihatan segar. Ya sudah, kerja yang rajin ya.” Pak Hadi tersenyum. Senyum yang tulus, tapi ada kilatan aneh di matanya. Seperti anak kecil melihat permen.

Siti duduk di kursinya. Jantungnya mau meledak.

Susuk itu bekerja. Rambut busuk itu bekerja.

Sepanjang hari itu adalah hari terbaik dalam hidup Siti. Rekan kerja yang biasanya nitip kerjaan dengan seenaknya, hari ini menawarkan kopi. Desi mengajaknya makan siang bareng—hal yang mustahil terjadi kemarin.

“Mbak Siti pake skincare apa sih? Glowing banget hari ini,” tanya Desi sambil mengunyah salad.

Siti cuma tersenyum misterius. Dia merasa di atas awan. Dia merasa berkuasa. Benjolan di pelipisnya berdenyut hangat, memberinya rasa percaya diri yang meluap-luap.

Sampai malam datang.

Siti pulang ke kost dengan senyum yang belum pudar. Kost-nya sempit, temboknya lembap, dan berbagi kamar mandi luar. Tapi malam ini rasanya seperti istana.

Dia berganti baju tidur. Membersihkan muka.

Lalu dia berdiri di depan cermin lemari plastik yang sudah retak di ujungnya.

Siti menyisir rambutnya. Dia menatap matanya sendiri. Cantik. Dia merasa cantik.

Tapi kemudian, lampu kamar berkedip. Sekali. Dua kali.

Suhu kamar turun drastis. Udara menjadi dingin dan berat.

Siti berhenti menyisir. Dia melihat bayangannya di cermin.

Bayangan itu tidak bergerak.

Padahal tangan Siti sudah turun, tangan di cermin masih memegang sisir di udara.

Siti mundur selangkah. Mulutnya terbuka menahan jeritan.

Wajah di cermin itu perlahan berubah.

Kulit yang glowing itu memucat. Lingkaran hitam di bawah mata melebar. Dan di leher... muncul garis ungu melingkar. Bekas jeratan.

Bayangan di cermin itu tersenyum. Bukan senyum Siti. Itu senyum sedih, senyum putus asa.

Tiba-tiba, Siti merasakan sesuatu di lehernya sendiri.

Dingin.

Seperti ada sepasang tangan besar dan kasar yang melingkar di lehernya dari belakang.

Siti meraba lehernya. Tidak ada siapa-siapa. Kosong.

Tapi tekanan itu nyata. Jempol yang menekan tenggorokan. Jari-jari yang mencengkeram nadi.

Siti tercekik. Dia jatuh berlutut di lantai kost. Menggapai-gapai udara.

“Ugh... le... pas...”

Dan di saat napasnya tinggal satu hembusan terakhir, sebuah aroma tercium tajam di hidungnya.

Bukan bau kemenyan Mbah Darmo.

Itu bau tembakau cerutu yang mahal. Dicampur dengan bau daun teh basah yang baru dipetik. Dan bau cologne laki-laki yang menyengat.

Bau kemewahan yang mematikan.

Cengkeraman itu mengendur tiba-tiba.

Siti terbatuk-batuk, menghirup udara rakus. Air matanya keluar. Dia meraba lehernya yang perih.

Dia menatap cermin lagi.

Wajahnya sudah kembali normal. Siti yang biasa. Tapi di pelipis kanannya, tempat susuk itu tertanam, ada garis hitam tipis yang menjalar di bawah kulit seperti akar pohon yang sedang mencari air.

Benjolan itu berdenyut sakit. Bukan hangat lagi. Tapi panas.

Dan dari cermin, Siti bersumpah dia mendengar bisikan lirih. Suara wanita.

“Jangan tidur... Dia datang kalau kamu tidur...”

Bab 2: Ingatan yang Menumpang

Tidur bukan lagi istirahat. Tidur adalah pintu yang lupa dikunci.

Siti terbaring di kasur busanya yang tipis. Matanya terpejam, tapi otaknya tidak berada di kamar kost yang lembap itu.

Dia berada di tempat yang dingin. Lantainya bukan ubin pecah, tapi marmer licin yang menusuk kulit punggung.

Aroma itu datang lagi.

Dominan. Menindas. Bau tembakau mahal yang dibakar pelan. Bau seduhan teh hitam yang pekat. Dan bau amis samar... seperti bau logam yang ditaruh di bawah lidah.

Siti mencoba bangun, tapi tubuhnya bukan miliknya. Dia lumpuh.

Ada napas lain di ruangan itu. Berat. Teratur. Sangat tenang.

“Sayang sekali,” suara laki-laki itu berbisik. Lembut, sopan, seperti suara bapak-bapak yang menyapa di masjid. “Padahal kulitmu bagus.”

Siti ingin menjerit. Dia ingin bilang, Siapa kamu?

Tapi mulutnya disumbal sesuatu. Kain kasar. Rasanya asin.

Siti merasakan tangan besar menyentuh lehernya. Tangan itu hangat, kulitnya halus terawat, kontras dengan kekerasan yang dilakukannya. Jari-jari itu melingkar pelan, seolah sedang mengukur diameter leher, sebelum menekan kuat di titik nadi.

Tekanan itu nyata. Saluran napas terjepit. Pandangan Siti menggelap.

Di detik-detik sebelum kesadarannya hilang, Siti melihat sekilas wajah orang itu. Bukan monster. Bukan hantu.

Hanya siluet pria paruh baya yang tersenyum santun.

“Hhhkk!”

Siti tersentak bangun.

Dia duduk di tepi kasur, terbatuk-batuk hebat seolah paru-parunya baru saja dikosongkan paksa. Tangannya refleks mencengkeram leher.

Sakit.

Tenggorokannya perih, seakan baru saja diremas tangan besi.

“Ti? Siti?”

Suara Rina dari balik dinding triplek. “Mimpi buruk lagi? Teriak-teriak mulu lu.”

Siti tidak menjawab. Dia gemetar. Dia meraba lehernya. Tidak ada bekas tangan. Tidak ada memar. Tapi rasa sakit itu ada di dalam, di tulang rawan, di memori otot.

Dia menyalakan lampu HP, menyorot wajahnya di cermin lemari plastik.

Wajahnya pucat. Keringat dingin membasahi daster.

Dan di pelipis kanan, benjolan susuk itu berdenyut kencang. Panas. Kulit di sekitarnya memerah, membentuk jaring-jaring halus seperti akar serabut yang sedang mencari makan.

Benda itu tumbuh.

Kantor hari itu meriah. Desi ulang tahun.

Lagu “Selamat Ulang Tahun” versi koplo berdentum dari speaker bluetooth murah. Balon emas ditempel di kaca. Kue tart Black Forest besar duduk manis di tengah meja.

Siti berdiri di sudut, memegang gelas plastik berisi Fanta hangat.

Semua orang masih bersikap manis padanya. Efek “pemikat” itu masih bekerja, tapi hari ini terasa berbeda. Tatapan mereka bukan lagi kagum, melainkan lapar. Seolah Siti adalah hidangan yang lezat.

“Ayo Mbak Siti, sini dong di depan! Masak ngumpet di pojok!” panggil Pak Hadi, melambai antusias.

Siti memaksakan senyum. Kakinya berat saat melangkah maju. Kepalanya pening. Suara tawa teman-temannya terdengar berdengung, timbul tenggelam seperti radio rusak.

“Potong kuenya! Potong kuenya!” semua orang bertepuk tangan.

Desi tertawa manja. Dia mengambil pisau kue. Pisau panjang bergerigi.

Mata Siti terkunci pada pisau itu.

Cahaya lampu neon di atas kepala berkedip. Zzzt.

Dunia Siti miring.

Di mata Siti, ruangan kantor yang terang benderang itu meredup. Dinding kaca berubah menjadi dinding kayu gelap yang penuh ukiran.

Desi mengangkat pisau.

“Potong...”

Suara Desi berubah. Menjadi berat. Menjadi suara laki-laki itu.

Sreeet.

Pisau bergerigi itu membelah kue.

Bagi orang lain, itu suara pisau memotong bolu lembut. Bagi Siti, itu suara pisau yang menggesek tulang.

Krak.

Selai ceri merah meleleh keluar dari dalam kue. Kental. Pekat.

Darah.

Siti mundur selangkah. Napasnya memburu. Aroma kue cokelat hilang, tergantikan bau anyir darah yang begitu kuat sampai bikin mual.

Desi menoleh ke arah Siti sambil memegang pisau yang berlepotan krim merah. Dia tersenyum lebar.

Tapi di mata Siti, wajah Desi retak.

Rahang Desi bergeser miring. Matanya melotot kosong, hitam seluruhnya tanpa bagian putih. Dan di leher Desi, ada lubang menganga yang mengeluarkan asap.

“Giliranmu, Nduk...” bisik Desi dengan suara parau yang bukan miliknya. “Sakit...”

“JANGAN!”

Siti menjerit.

Dia menepis piring kue yang disodorkan Pak Hadi. Piring itu terbang, menghantam dada Desi. Krim dan bolu berantakan mengotori baju baru Desi.

Suasana hening seketika. Musik dimatikan.

“Mbak Siti?!” Desi menjerit kaget, mundur ketakutan.

Siti tidak melihat Desi. Siti melihat ancaman. Dia menyambar pembolong kertas dari meja terdekat, mengacungkannya seperti senjata.

“Jangan mendekat! Pergi! Pergi!” teriak Siti. Matanya liar menatap sekeliling ruangan yang baginya penuh dengan bayangan hitam.

“Siti! Kamu kenapa?! Sadar!” Pak Hadi membentak, tapi tidak berani mendekat.

Siti terengah-engah. Pelan-pelan, halusinasi itu memudar.

Dinding kayu kembali jadi kaca. Darah kembali jadi selai ceri. Wajah Desi kembali mulus, hanya kotor kena kue dan ekspresinya ketakutan setengah mati.

Siti melihat sekeliling. Puluhan pasang mata menatapnya.

Tatapan itu sudah berubah.

Pesona susuk itu hancur oleh kegilaan. Mereka tidak melihat primadona. Mereka melihat orang sakit jiwa yang berbahaya.

“Maaf...” bisik Siti. Suaranya kecil.

Tanpa menunggu dipecat, Siti berbalik dan lari. Meninggalkan sepatu sebelah kirinya yang lepas di lobi.

Langit sore mendung pekat. Angin membanting seng-seng ruko walet, menciptakan suara gaduh yang seirama dengan kekacauan di kepala Siti.

Siti menggedor pintu kayu jati itu dengan brutal.

“Mbah! Buka, Mbah!”

Tidak ada jawaban. Siti mendorong pintu. Tidak dikunci.

Mbah Darmo sedang duduk bersila, melinting rokok. Dia menoleh kaget melihat Siti yang berantakan; rambut kusut, kaki pincang sebelah tanpa sepatu, mata merah bengkak.

“Keluarkan,” desis Siti. Dia tidak basa-basi. Dia langsung duduk di depan dukun tua itu. “Keluarkan benda ini sekarang. Saya nggak mau cantik. Saya mau waras.”

Mbah Darmo menyipitkan mata. Dia melihat pelipis Siti.

Wajah tua itu memucat. Rokok di tangannya jatuh.

“Gusti...” gumam Mbah Darmo.

Dia melihat sesuatu yang tidak dilihat orang awam. Aura hitam pekat yang membungkus kepala Siti, seperti asap pabrik yang mencekik.

“Kamu apakan susuknya, Nduk? Kamu langgar pantangan? Kamu makan pisang emas?”

“Saya nggak makan apa-apa! Benda ini yang makan saya!” Siti mencengkeram tangan Mbah Darmo, mengarahkannya ke pelipis. “Cabut, Mbah. Sakit. Ada yang teriak-teriak di kepala saya.”

Mbah Darmo gemetar. Dia buru-buru mengambil silet dan pinset. Tangannya yang biasanya stabil kini goyah.

“Tahan. Jangan gerak.”

Mbah Darmo menyayat kulit pelipis Siti. Darah menetes. Warnanya tidak merah segar, tapi merah tua cenderung hitam. Encer seperti air comberan.

Mbah Darmo memasukkan ujung pinset, mencari simpul rambut itu.

Tik.

Kena.

“Dapat,” gumam Mbah Darmo. Dia menarik.

Siti mengerang. Rasanya bukan sekadar ditarik. Rasanya seperti ada akar pohon tua yang dicabut paksa dari tanah kering, membawa serta gumpalan daging dan saraf yang melilitnya.

Bunyi krek halus terdengar—bukan bunyi pinset, tapi bunyi jaringan kulit Siti yang meregang melampaui batas elastisitasnya.

Benda itu melawan. Siti bisa merasakan “kaki-kaki” kecil dari simpul rambut itu mencengkeram tulang tengkoraknya, menolak untuk dilepaskan.

“Keras...” Mbah Darmo berkeringat jagung. Napasnya bau tembakau basi. Dia mengeratkan pegangan pada pinset, menarik lebih kuat dengan kepanikan yang mulai merembes.

Tiba-tiba, Mbah Darmo melepaskan pinsetnya dan melompat mundur. Dia jatuh terduduk di lantai.

“Astagfirullah!”

“Kenapa, Mbah?! Cabut!”

“Dia gerak!” teriak Mbah Darmo, menunjuk wajah Siti dengan telunjuk gemetar. “Rambutnya narik balik! Dia nggak mau keluar!”

Siti meraba lukanya. Benar saja. Benda di bawah kulitnya itu menggeliat, lalu masuk lebih dalam, menjauh dari lubang sayatan. Menanamkan diri ke arah tulang tengkorak.

“Ini rambut apa, Mbah?!” Siti menangis histeris. “Mbah bilang ini rambut ‘Kembang’!”

Mbah Darmo menggeleng-geleng panik. Dia merangkak mundur sampai punggungnya menabrak lemari jamu.

“Saya... saya nggak tahu itu rambut siapa...” suaranya mencicit. “Saya beli karungan, Nduk. Dari pengepul barang bekas di pasar loak.”

Siti terdiam. Air matanya berhenti menetes.

“Pasar loak?”

“Iya... tas-tas bekas, dompet, sisir... barang-barang yang ditemu pemulung. Saya ambilin rambut yang nyangkut di sisir-sisir itu. Saya pilin jadi satu.”

Siti menatap dukun itu dengan tatapan kosong.

Rambut dari sisir bekas.

Barang-barang yang dibuang. Atau barang-barang yang ditinggalkan karena pemiliknya tidak bisa membawanya pulang.

“Berapa sisir, Mbah?” bisik Siti.

“Banyak... lima... enam... mungkin tujuh. Saya campur biar energinya kuat.”

Siti menyentuh pelipisnya yang berdarah.

Bukan satu orang.

Ada keramaian di kepalanya. Potongan-potongan ingatan yang bukan miliknya. Rasa sakit yang tumpang tindih.

Mbah Darmo mengambil segenggam beras kuning, melemparnya ke arah Siti. “Pergi! Pergi kamu! Jangan bawa mereka ke sini!”

Siti tidak bergerak. Kepalanya miring sedikit. Tatapannya berubah.

Rasa takut di wajah Siti perlahan menghilang, digantikan oleh ekspresi bingung, seperti orang yang baru bangun tidur di tempat asing.

Mulut Siti bergerak. Suara yang keluar kecil, serak, dan logatnya agak berbeda. Sunda kasar.

Tiis... “ (Dingin...)

Mbah Darmo terdiam.

Siti menatap Mbah Darmo, tapi tidak melihatnya. Dia melihat menembus dinding kayu rumah itu.

“Kebun teh...” gumam Siti lagi. Matanya menerawang. “Kabutnya tebal... Bapak itu bawa cangkul... tapi bukan buat nyangkul tanah...”

Siti memegang lehernya sendiri.

Di mana sepatuku?

Bab 3: Tujuh Tulang di Kebun Teh

Siti tidak ingat bagaimana dia pulang dari rumah Mbah Darmo. Tahu-tahu dia sudah duduk di tepi kasur kost, memeluk lutut.

Di tangannya ada segelas air hangat. Rina yang memegangnya.

“Minum,” perintah Rina. Suaranya tegas, tapi matanya cemas.

Siti menurut. Air itu terasa tawar di lidahnya yang pahit.

“Lu tau jam berapa sekarang? Jam dua pagi,” kata Rina. Dia menarik kursi plastik, duduk berhadapan dengan Siti. Di pangkuan Rina ada buku catatan kecil dan pulpen.

“Gue nggak bisa tidur gara-gara lu teriak-teriak lagi tadi sore sebelum ngilang. Terus lu balik kayak mayat hidup begini.” Rina membuka buku catatannya. “Lu inget apa yang lu omongin pas ngigau semalem?”

Siti menggeleng lemah.

“Lu nyebut nama,” kata Rina. “Neni. Lilis. Euis. Terus lu ngomong bahasa Sunda. ‘Ulah dipaehan, Bapa... abdi gaduh murangkalih...’

Bulu kuduk Siti meremang. Dia orang Jawa Tengah. Dia mengerti Bahasa Sunda sedikit-sedikit karena kerja di Bandung, tapi dia tidak pernah bicara sehalus itu.

“Itu bukan gue, Rin...” bisik Siti.

“Gue tau,” potong Rina cepat. Dia jurnalis magang di media lokal, otaknya terbiasa mencari fakta di balik omong kosong. Tapi kali ini, faktanya tidak masuk akal. “Gue googling nama-nama itu. Neni Sumarni. Hilang dua tahun lalu. Lilis Komariah. Hilang tiga tahun lalu. Semuanya pemandu lagu atau pekerja malam di sekitaran Bandung Selatan.”

Rina menatap Siti tajam.

“Siti, jujur sama gue. Lu pasang apa di muka lu?”

Siti meraba pelipisnya yang diperban plester luka. Denyutan di sana terasa sinkron dengan detak jam dinding.

“Rambut,” jawab Siti lirih. “Rambut dari sisir orang mati.”

Rina menghela napas panjang. Dia tidak menghakimi. Dia tidak menceramahi soal dosa atau syirik. Dia cuma menutup buku catatannya dengan keras.

“Besok subuh kita berangkat.”

“Ke mana?”

“Ke tempat yang lu sebut di mimpi lu tadi. Kebun teh. Kabut tebal. Patung Ganesha yang belalainya pecah.”

Motor matic Rina membelah jalanan Pangalengan yang berkelok. Udara semakin dingin, menusuk sampai ke tulang sumsum meski Siti sudah pakai jaket tebal.

Kabut turun bukan seperti asap, tapi seperti tembok putih yang menelan jalan. Jarak pandang cuma lima meter.

Siti duduk di boncengan. Dia tidak melihat peta. Dia tidak melihat jalan.

Dia dipandu oleh rasa sakit.

Semakin dekat mereka ke lokasi, semakin kencang denyutan di pelipisnya. Rasa sakit itu menjalar ke belakang leher, menarik kepalanya untuk menoleh ke arah tertentu. Seperti kompas yang terbuat dari daging dan darah.

“Kiri, Rin...” bisik Siti di dekat telinga Rina yang tertutup helm.

“Yakin? Itu jalan tanah, Ti. Masuk hutan pinus.”

“Kiri. Mereka bilang kiri.”

Rina membanting setir ke kiri. Roda motor melibas jalan berbatu yang licin oleh lumut. Pohon-pohon pinus menjulang tinggi di kanan kiri, seperti tiang-tiang penjara raksasa.

Sepi. Tidak ada suara burung. Hanya suara mesin motor yang meraung keberatan menanjak.

Setelah lima belas menit terguncang-guncang, jalanan terbuka.

Di depan mereka, berdiri sebuah bangunan tua.

Villa Cempaka.

Bangunan itu bergaya Belanda, temboknya putih kusam dimakan lumut hitam. Halamannya luas tapi liar, rumput ilalang setinggi pinggang.

Dan di sana, di tengah air mancur yang sudah kering dan retak... ada patung Ganesha.

Belalainya patah separuh.

Siti turun dari motor. Kakinya lemas, tapi ada tenaga lain yang memaksanya bergerak.

“Ini tempatnya,” kata Siti. Suaranya datar.

Rina memarkir motor di balik semak-semak, menyembunyikannya. Dia mengeluarkan HP, menyalakan kamera video. “Gue rekam. Buat bukti kalau kita nemu sesuatu... atau kalau kita mati.”

Siti berjalan melewati gerbang besi yang berkarat. Tidak dikunci.

Dia tidak menuju pintu depan villa yang megah.

Dia berjalan memutar ke samping. Ke arah kebun belakang.

Di sana, udara berbau busuk. Bukan bau sampah dapur. Bau tanah yang terlalu subur.

Ada gundukan tanah di dekat tembok pembatas belakang. Di atasnya tumbuh tanaman liar yang daunnya lebih hijau, lebih lebar daripada tanaman di sekitarnya. Di samping gundukan itu, ada bak beton bekas pembakaran sampah.

Siti berhenti di depan gundukan itu.

Telinganya berdenging. Suara jeritan wanita, suara tawa laki-laki, suara cangkul menghantam tanah... semuanya berputar di kepalanya seperti kaset rusak.

“Di sini,” tunjuk Siti.

Rina mendekat. Dia melihat gundukan itu. “Ini tempat sampah kebun, Ti. Liat tuh, banyak potongan dahan kering.”

“Bukan. Di bawahnya.”

Siti berlutut. Dia tidak peduli celananya kotor. Dia mulai menggali tanah basah itu dengan tangan kosong.

“Ti, pake kayu kek, jangan pake tangan!”

Siti tidak peduli. Kukunya hitam oleh tanah. Dia menggali seperti anjing yang panik.

Tanahnya gembur. Tidak padat. Seolah sering dibongkar pasang.

Siti menyentuh sesuatu yang keras.

Bukan batu.

Dia menarik benda itu keluar.

Sebuah tulang. Panjang, putih kekuningan, berpori kasar.

Siti melempar tulang itu ke kaki Rina.

Rina memungutnya dengan ujung jaket. Wajahnya pucat. “Ti... ini tulang paha sapi kayaknya. Liat bonggolnya gede.”

“Gali lagi,” desis Siti.

Siti menggali lebih dalam. Bau anyir mulai tercium.

Tangannya menyangkut pada sesuatu yang bukan tanah dan bukan tulang.

Kain.

Siti menariknya. Kain itu sudah lapuk, warnanya pudar, bercampur lumpur. Tapi rendanya masih utuh.

Itu bra. Bra renda warna merah marun. Tali pengaitnya putus, seolah ditarik paksa.

Rina berhenti merekam. Dia menutup mulutnya, menahan mual.

“Itu punya Neni...” bisik Siti. Ingatan asing itu memberitahunya. “Dia beli di pasar kaget Cicadas... buat hadiah ulang tahun pacarnya...”

Siti menggali lagi di sebelahnya.

Kali ini dia menemukan benda plastik.

KTP.

Plastiknya sudah mengelupas separuh. Fotonya buram karena air tanah. Tapi nama di sana masih terbaca jelas.

LILIS KOMARIAH Lahir: Bandung, 12-05-1995

Siti memegang KTP itu dengan tangan gemetar.

Tiba-tiba, dia merasakan hawa panas di belakang punggungnya.

Bukan hantu.

Siti menoleh pelan.

Di lantai dua villa itu, di balik jendela kaca besar yang tertutup gorden tipis... ada sesosok bayangan.

Laki-laki.

Dia berdiri diam, memegang cangkir teh. Menatap ke bawah. Menatap Siti dan Rina yang sedang berlutut di kuburannya.

Dia tidak panik. Dia tidak lari.

Dia mengangkat cangkirnya sedikit. Sebuah gestur bersulang yang sopan.

Siti mengenali siluet itu.

Itu Bapak yang ada di dalam mimpinya.

“Rin...” suara Siti tercekat. “Dia liat kita.”

Rina mendongak. Dia melihat sosok itu. Insting bahayanya menyala.

“Lari,” bisik Rina.

Lalu dia berteriak, menarik lengan Siti.

“LARI, SITI! KE MOTOR! SEKARANG!”

Mereka berlari membelah ilalang, meninggalkan tulang dan KTP itu tergeletak di tanah basah.

Di lantai dua, pria itu menyesap tehnya perlahan. Dia tersenyum.

Senyum seorang pemburu yang baru saja menemukan mainan baru yang menarik.

Bab 4: Hukum yang Tumpul

Lampu rotator polisi membelah kabut Pangalengan. Biru. Merah. Biru. Merah.

Siti duduk di bak belakang mobil ambulans yang pintu belakangnya terbuka. Tubuhnya dibungkus selimut oranye milik tim SAR. Dia menggigil, bukan karena dingin udara pegunungan, tapi karena suara cangkul yang beradu dengan tanah di kejauhan.

Krak. Buk.

Setiap hantaman cangkul polisi rasanya seperti menghantam kepala Siti.

“Minum lagi,” Rina menyodorkan teh hangat dalam kemasan botol plastik.

Siti menggeleng. Matanya kosong menatap garis polisi warna kuning yang membentang di sekitar gundukan tanah di halaman belakang Villa Cempaka.

Mereka menemukan banyak.

Bukan cuma Neni dan Lilis.

Tim forensik mengeluarkan kantong jenazah satu per satu. Kantong itu tidak gembung. Kantong itu kempes, berbunyi klontang saat diangkat karena isinya hanya tulang belulang.

Satu. Dua. Tiga... Tujuh.

Tujuh kantong oranye berbaris rapi di atas rumput basah.

Di lantai dua villa, lampu menyala terang. Polisi menggiring Santoso turun.

Pria itu tidak diborgol kasar. Dia berjalan santai, didampingi dua petugas yang justru terlihat sungkan. Santoso memakai kemeja linen putih yang bersih tanpa noda, celana kain warna krem, dan sepatu kulit yang mengkilap.

Dia tidak menunduk menutupi wajah dari kamera wartawan lokal yang mulai berdatangan. Dia tersenyum tipis. Wajahnya tenang, seperti bapak-bapak yang baru selesai rapat RT, bukan bapak-bapak yang halaman belakangnya jadi kuburan massal.

Saat dia melewati ambulans tempat Siti duduk, langkahnya melambat sedikit.

Dia menoleh.

Tatapan mereka bertemu.

Mata Santoso hitam pekat. Di balik kerutan ramah di sudut matanya, ada kekosongan yang absolut. Dia tidak melihat Siti sebagai manusia. Dia melihat Siti sebagai barang bukti yang merepotkan.

“Hati-hati masuk angin, Neng,” katanya pelan.

Salah satu polisi menyentuh bahunya. “Jalan, Pak.”

Santoso mengangguk sopan. “Mari, Pak.”

Siti meremas selimutnya sampai buku jarinya memutih. Di dalam kepalanya, tujuh suara wanita berteriak serempak, memekakkan telinga.

“Buruan! Buruan ! Cekik dia!”

Siti menutup telinga, memukul kepalanya sendiri. “Diam... diam...”

Rina memeluknya. “Ti! Jangan dipukul! Tahan!”

Kantor polisi itu bau rokok dan kopi basi.

Siti duduk di ruang interogasi yang sempit. AC-nya mati, diganti kipas angin dinding yang berisik. Di depannya duduk Inspektur Asep, pria paruh baya dengan mata lelah dan perut buncit.

“Jadi,” Pak Asep membuka map di meja. “Bisa jelaskan lagi, Saudari Siti, bagaimana Saudari tahu persis lokasi mayat-mayat itu?”

Siti menelan ludah. Tenggorokannya kering. “Saya... saya dikasih tahu, Pak.”

“Siapa yang kasih tahu? Ada saksi mata? Ada pesan WA?”

“Bukan WA, Pak. Mimpi.”

Pak Asep berhenti menulis. Dia meletakkan pulpennya. Dia menatap Siti dengan tatapan yang campuran antara kasihan dan jengkel.

“Mimpi?”

“Saya pasang susuk, Pak,” Siti bicara cepat, putus asa. Dia menyingkap rambut di pelipisnya, memperlihatkan luka sayatan yang mulai bernanah dan garis hitam urat yang menonjol. “Susuk rambut. Rambut korban-korban itu ada di sini. Di kepala saya. Mereka yang kasih tahu.”

Pak Asep menghela napas panjang. Dia memijat pelipisnya sendiri.

“Mbak Siti, dengar ya. Kami menemukan tujuh kerangka. Itu fakta. Tapi kalau saya tulis di BAP bahwa pelapor menemukan mayat berdasarkan ‘bisikan hantu dari susuk’, jaksa bakal ngetawain saya. Pengacara tersangka bakal makan saya hidup-hidup.”

“Tapi itu kenyataannya, Pak! Mbah Darmo juga bisa jadi saksi! Dia yang pasang!”

“Mbah Darmo sudah kami jemput. Dia ngaku nipu. Dia bilang dia cuma jual sugesti. Dia takut kena pasal praktik medis ilegal.”

Siti ternganga. “Bohong...”

“Mbak Siti,” Pak Asep memajukan badannya. “Mbak punya riwayat medis? Pernah ke psikiater?”

“Saya nggak gila!” Siti menggebrak meja.

“Siti,” Rina masuk ke ruangan. Wajahnya merah padam, napasnya ngos-ngosan. Dia baru saja berdebat di luar. “Tenang dulu.”

Rina duduk di sebelah Siti, menatap tajam Pak Asep. “Pak, lupakan soal mimpi. Faktanya, mayat ada di tanah dia. Di villa dia. Itu tanah privat. Nggak mungkin dia nggak tahu ada tujuh orang dikubur di halaman belakangnya.”

Pak Asep menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tanah itu luasnya dua hektar, Mbak Rina. Tidak ada pagar belakang. Berbatasan langsung dengan hutan lindung dan perkebunan teh warga.”

“Terus kenapa?”

“Pengacaranya baru datang. Pengacara dari Jakarta. Dia bilang, kliennya jarang menempati villa itu. Paling cuma sebulan sekali. Selama villa kosong, siapa saja bisa masuk. Pemulung, pemburu babi hutan, atau... pembunuh yang mau buang mayat.”

“Itu alasan klise!” Rina membentak. “Cek DNA! Di mayat pasti ada jejak dia!”

“Mayatnya sudah jadi tulang, Mbak. Kena hujan, kena tanah asam bertahun-tahun. Susah cari DNA pelaku. Kalaupun ada, pasti sudah rusak.”

“CCTV?” tanya Rina lagi.

“Rusak. Hardisk-nya korup kena petir dua bulan lalu. Ada surat servisnya lengkap.”

Rina terdiam. Tangannya mengepal di atas meja.

“Jadi dia bakal bebas?” tanya Siti lirih. Suaranya bergetar.

Pak Asep tidak menjawab langsung. Dia menyalakan rokok, menghembuskan asap ke langit-langit yang bernoda.

“Kami tahan dia 24 jam untuk pemeriksaan. Tapi kalau tidak ada bukti fisik yang mengaitkan dia dengan korban—seperti senjata pembunuh, barang korban di kamar dia, atau saksi mata yang melihat dia membunuh—kami tidak bisa menahannya lama-lama. Praduga tak bersalah.”

Siti menunduk. Dia melihat tangannya sendiri.

Di dalam kepalanya, suara-suara itu kembali. Tapi kali ini bukan teriakan marah.

Suara tangisan.

Lirih. Putus asa. Suara wanita-wanita yang sadar bahwa mereka akan dilupakan untuk kedua kalinya.

“Dia ambil barang-barang mereka...” bisik Siti.

Pak Asep menoleh. “Apa?”

“KTP. Dompet. Sisir. Dia buang ke pasar loak. Mbah Darmo beli dari pasar loak.” Siti menatap Pak Asep dengan mata berkaca-kaca. “Kalau Bapak bisa cari siapa yang jual tas-tas itu ke pasar loak...”

“Pasar loak Tegalega itu isinya ribuan pedagang, Mbak. Barang berputar tiap hari. Dan kejadiannya sudah tahunan lalu. Gimana cara lacaknya?”

Jalan buntu.

Tembok beton birokrasi lebih keras daripada tembok hantu.

“Boleh saya lihat dia?” tanya Siti.

“Siapa? Tersangka?”

“Iya.”

“Nggak boleh. Prosedur.”

“Lewat kaca saja, Pak. Tolong. Saya perlu memastikan sesuatu.”

Pak Asep menatap Siti lama. Akhirnya dia mengangguk pelan. “Lima menit. Dari ruang observasi satu arah.”

Siti berdiri di balik kaca cermin satu arah. Di ruang sebelah, Santoso duduk di kursi besi.

Dia tidak terlihat tertekan.

Di meja di depannya ada segelas kopi hitam. Dia sedang membaca koran yang entah dapat dari mana. Kakinya disilangkan santai.

Di sampingnya duduk seorang pria muda berjas licin—pengacaranya. Mereka sedang tertawa kecil. Mungkin menertawakan polisi. Mungkin menertawakan Siti.

Siti menempelkan telapak tangannya ke kaca dingin.

Benjolan di pelipisnya berdenyut menyakitkan. Panas.

Di ruangan itu, Santoso tiba-tiba berhenti tertawa.

Dia menoleh perlahan.

Tepat ke arah cermin. Tepat ke arah mata Siti.

Dia tidak bisa melihat Siti. Itu cermin satu arah. Bagi Santoso, dia hanya melihat pantulan dirinya sendiri.

Tapi Santoso tersenyum.

Dia mengangkat tangannya, lalu mengetuk-ngetuk pelipis kanannya sendiri dengan telunjuk.

Tik. Tik. Tik.

Siti mundur terhuyung. Napasnya tercekat.

Dia tahu.

Santoso tahu di mana Siti menyimpan “barang bukti” itu. Dia tahu ada bagian dari korbannya yang masih hidup di dalam tubuh Siti.

Dan dia tidak takut.

Dia justru menikmatinya.

Siti berbalik dan lari keluar dari ruang observasi, menabrak Rina yang menunggu di lorong.

“Ti? Kenapa?”

“Dia iblis, Rin...” Siti gemetar hebat, air matanya tumpah. “Dia bukan manusia... hukum manusia nggak bakal bisa nyentuh dia...”

Rina memeluk sahabatnya yang rapuh itu. Tapi mata Rina menatap tajam ke pintu ruang interogasi.

“Kalau hukum nggak bisa nyentuh dia,” bisik Rina dingin, “kita cari cara lain.”

Bab 5: Senyuman Terakhir

Pintu kantor polisi terbuka.

Matahari sore menembus kabut tipis, menciptakan siluet panjang di lantai keramik lobi.

Santoso melangkah keluar.

Tanpa borgol. Tanpa rompi oranye.

Dia sudah mandi. Kemeja putihnya yang tadi pagi masih sama licinnya. Rambut kelabunya disisir rapi ke belakang, berkilau terkena minyak rambut mahal.

Di belakangnya, pengacara muda itu sedang sibuk menelepon, tertawa kecil, mungkin memesan meja di restoran mewah untuk merayakan kemenangan.

“Kurang bukti,” kata Pak Asep tadi, suaranya berat dan malu, menolak menatap mata Rina. “Tanah itu area terbuka. Tidak ada sidik jari di tulang. Tes DNA butuh waktu bulan-bulan, dan selama itu, kami tidak bisa menahannya.”

Hukum adalah matematika. Dan Santoso pandai berhitung.

Siti berdiri di dekat pilar lobi. Dia tidak bergerak. Kakinya seperti dipaku ke lantai.

Benjolan di pelipisnya berdenyut. Bukan lagi denyutan sakit, tapi denyutan lapar.

Santoso berjalan menuju mobil sedan hitam yang sudah menunggunya di depan tangga. Sopir berseragam keluar membukakan pintu.

Tapi sebelum masuk, Santoso berhenti.

Dia menoleh ke arah pilar. Ke arah Siti.

Dia tidak buru-buru. Dia berjalan pelan mendekati Siti. Langkahnya mantap. Bau cerutu dan cologne mahal itu menguar, mendominasi udara, mengalahkan bau karbol lantai kantor polisi.

Rina maju selangkah, pasang badan di depan Siti. “Mau apa Anda? Pergi!”

Santoso tersenyum. Dia mengabaikan Rina seolah Rina hanyalah lalat yang berdengung.

Mata Santoso terkunci pada Siti. Mata itu gelap, tenang, dan kosong.

“Minggir, Nak,” katanya lembut pada Rina. “Saya cuma mau pamit sama teman lama saya.”

Dia menatap Siti. Tatapannya turun ke pelipis kanan Siti. Ke luka sayatan yang hitam dan bengkak itu.

Santoso mendekatkan wajahnya. Dia tidak menyentuh Siti. Dia hanya membungkuk sedikit, bibirnya mendekat ke telinga Siti yang tertutup rambut kusut.

Siti bisa merasakan napas hangat pria itu di kulit lehernya. Napas yang sama yang dia rasakan setiap malam dalam kelumpuhan tidurnya.

“Kamu cantik sekali hari ini, Siti,” bisiknya. Suaranya serak, intim, dan menjijikkan.

Siti gemetar. Air mata menetes tanpa suara.

“Mereka berisik ya di dalam sana?” tanya Santoso lirih. “Neni... Lilis... Euis... saya rindu suara teriakan mereka.”

Santoso terkekeh pelan.

“Jaga mereka baik-baik buat saya. Biarkan mereka matang. Nanti, kalau sudah waktunya... saya akan jemput kalian semua sekaligus.”

Santoso menarik wajahnya kembali. Dia menepuk bahu Siti pelan, seolah membersihkan debu imajiner.

“Sampai ketemu di mimpi nanti malam, Cantik.”

Santoso berbalik. Dia berjalan santai menuruni tangga, masuk ke dalam mobil mewahnya. Pintu ditutup. Kaca jendela yang gelap menyembunyikan wajahnya.

Mobil itu melaju pergi, meninggalkan asap knalpot tipis yang segera hilang ditelan angin.

“Bajingan!” Rina berteriak, melempar botol air mineral ke arah mobil yang menjauh. “BAJINGAN LU!”

Siti tidak berteriak.

Dia diam. Hening.

Suara-suara di kepalanya tiba-tiba berhenti.

Tidak ada lagi teriakan. Tidak ada lagi tangisan minta tolong.

Hanya ada keheningan yang padat dan dingin.

“Ti?” Rina memegang bahu Siti. “Lu nggak apa-apa? Kita lapor ke media nasional. Gue punya temen di Jakarta. Kita viralin ini. Dia nggak bakal lolos.”

Siti menoleh ke Rina.

Gerakannya kaku. Patah-patah.

“Pulang yuk, Ti. Lu butuh istirahat. Muka lu pucet banget.”

Siti berjalan melewati Rina. Dia menuju kaca jendela pos satpam yang gelap.

Dia berdiri di depan kaca itu. Menatap pantulan dirinya sendiri.

Lampu neon pos satpam berkedip di belakang kaca.

Di pantulan itu, Siti melihat wajahnya.

Tapi itu bukan wajah Siti.

Hidungnya lebih mancung, milik Neni. Matanya lebih lebar, milik Lilis. Bibirnya lebih tebal, milik Euis. Rahangnya tirus, milik korban yang tak bernama.

Wajah itu adalah mosaik. Sebuah kolase daging dan tulang dari tujuh wanita mati yang disatukan paksa oleh benang hitam di bawah kulit.

Dan wajah di cermin itu tidak menangis.

Wajah itu tersenyum.

Senyum yang lebar, kaku, dan tidak wajar. Senyum yang memperlihatkan gigi terlalu banyak.

Siti mengangkat tangannya. Dia menyentuh pipinya sendiri.

Di bawah kulit wajahnya, garis-garis hitam itu bergerak cepat. Menyebar dari pelipis, turun ke leher, menjalar ke bahu. Seperti akar pohon beringin yang akhirnya menemukan tanah subur.

Mereka tidak ingin keluar. Mereka tidak ingin pulang ke surga. Mereka suka di sini. Di wadah baru ini.

“Ti?” suara Rina terdengar takut. “Siti?”

Siti berbalik menghadap Rina.

Mata Siti merah pekat. Pupilnya melebar sampai menutupi iris.

“Siti sudah nggak ada, Rin,” kata Siti.

Suaranya bukan suara Siti. Itu suara paduan suara. Tujuh nada berbeda yang diucapkan serentak, menciptakan gema yang bikin mual.

Siti tersenyum pada sahabatnya.

“Siti cuma wadah. Dan kami... kami lapar.”

Siti berjalan pergi meninggalkan kantor polisi. Dia tidak berjalan menuju halte bus. Dia berjalan kaki, menembus kabut sore yang mulai turun, menuju ke arah jalanan gelap.

Dia tahu di mana rumah Santoso. Dia tahu di mana kamar tidurnya. Dia tahu jam berapa Santoso tidur.

Dan malam ini, Santoso benar. Dia akan bertemu mereka.

Tapi bukan di dalam mimpi.

Siti meraba saku celana bahan hitamnya yang kedodoran. Dia mengeluarkan benda yang selalu ada di sana sejak dia bekerja di gudang. Benda yang sering luput dari perhatian orang, sama seperti pemiliknya. Sebuah cutter merah berkarat. Dia mendorong tuasnya.

Bilah pisau tipis itu keluar dengan bunyi klik yang tajam. Benda itu kecil, murah, dan kotor oleh sisa lem lakban. Tapi di tangan Siti, di bawah sorotan lampu jalan yang remang, bilah tipis itu tidak terlihat rapuh. Bagi mata Siti yang kini dihuni tujuh nyawa, cutter itu berkilat lapar.

Dia berjalan ke dalam kegelapan. Sebuah kuburan berjalan yang pintunya sudah dikunci dari dalam.

Dan di kejauhan, gema tawa Santoso seolah menyahut, menunggu permainan babak kedua dimulai.

TAMAT

TAMAT

Copyright © 2025 OX Media Publishing

← Kembali ke Menu Thriller
Dibaca ... kali
0

PARAS - Horror (Tamat)

TAMAT (ONESHOT)

OX MEDIA ORIGINAL

PARAS

✍️ Penulis: Rinnuna tags: Horror

"Cantik itu sakit. Tapi bagi Siti, cantik itu mematikan."

Lelah menjadi bayangan tak kasat mata di kantor yang kejam, Siti nekat mendatangi dukun untuk memasang "Susuk Rambut". Bukan emas, bukan berlian, melainkan gumpalan rambut mayat yang ditanam paksa di bawah kulit pelipisnya.

Hasilnya instan. Wajah pas-pasannya berubah memikat. Orang-orang memujanya. Dunia akhirnya melihatnya. Namun, harga yang harus dibayar jauh lebih mahal dari sekadar tumbal.

"Setiap kali Siti bercermin, wajahnya berubah menjadi rupa wanita lain yang menangis darah. Setiap kali dia tidur, dia terbangun dengan memar bekas cekikan di leher."

Ternyata, rambut di pelipisnya bukan sekadar benda mati. Itu adalah parasit. Dan sekarang, tujuh nyawa penasaran di dalamnya mulai mengambil alih tubuh Siti satu per satu.

⚠️ Peringatan: Cerita ini mengandung unsur klenik, body horror, dan deskripsi grafis yang mungkin mengganggu kenyamanan.

PAKET: Cinta dari Celah Sempit

PAKET

by L.T. Oktonawa

...

Bab 1: Kotak Pandora Kardus Cokelat

Bunyi motor itu.

Aku kenal bunyinya. Knalpot cempreng yang dipaksakan nge-bass. Suara rem yang berdecit malas. Lalu, standar motor yang dihantam ke aspal. Ctak.

Itu suara Tuhan.

Bukan. Itu suara kurir. Tapi bagiku sama saja.

Aku melempar selimut. Bau apek menguar. Biar saja. AC kamar berdengung lelah, suhunya 18 derajat tapi keringat dingin tetap menempel di tengkuk. Aku bangun. Kaki menyentuh lantai keramik yang dingin. Licin. Mungkin bekas tumpahan mi instan semalam yang lupa kuelap. Atau tumpahan coke.

"Paket!"

Teriakan itu. Mantra.

Jantungku berdegup. Bukan karena cinta. Karena dopamin. Hormon murah yang kubeli seharga ongkos kirim. Aku butuh itu. Aku butuh robekan selotip. Aku butuh bau kardus baru. Aku butuh rasa memiliki.

Di luar sana, orang-orang saling menyakiti dengan kata-kata dan ekspektasi. Tapi barang belanjaan tidak pernah menuntut. Mereka datang, diam, dan menjadi milikku sepenuhnya. Kotak-kotak itu adalah satu-satunya teman yang bisa kupilih, satu-satunya kejutan yang bisa kukontrol. Setidaknya, itulah yang kupikirkan sampai hari ini.

Aku menyambar hoodie gombrong di gantungan pintu. Menutupi tubuh kurus yang jarang kena matahari. Rambutku lepek. Masa bodoh. Kurir itu tidak peduli. Tetangga tidak peduli. Komplek perumahan subsidi ini mati. Deretan rumah tipe 36 yang pucat. Jarak antar pintu rapat, tapi penghuninya jauh.

Kunci pintu utama kuputar. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Slot atas. Slot bawah. Rantai.

Aku paranoid? Mungkin.

Dunia luar itu jahat. Matahari itu jahat. Orang-orang itu jahat. Hanya di sini aku aman. Di dalam kotak beton ini. Bersama tumpukan kotak kardus lain yang menggunung di sudut ruang tamu. Kuburan belanjaan. Sebagian belum kubuka. Sebagian sudah jadi sampah.

Aku membuka pintu sedikit. Celah sempit. Cukup untuk tangan keluar.

"Atas nama Kak Aminah?"

Suara laki-laki. Berat. Serak.

Aku tidak melihat wajahnya. Aku tidak mau lihat. Aku cuma melihat tangan yang menyodorkan kotak seukuran sepatu. Kukunya hitam. Ada bekas luka bakar di pergelangan tangannya.

"Ya. Taruh situ aja." Suaraku kecil. Pecah. Tenggorokan kering karena belum minum sejak bangun.

"Tanda tangan dulu, Kak."

Sial.

Biasanya tidak perlu. Biasanya mereka lempar saja. Atau taruh di rak sepatu yang sudah penuh debu. Kenapa yang ini rewel?

Aku membuka pintu lebih lebar. Terpaksa. Cahaya matahari menusuk mata. Silau. Sakit. Aku menyipit. Kurir itu memakai helm full face. Kaca gelap. Jaketnya bukan jaket ojol biasa. Jaket kulit hitam, lusuh. Baunya aneh. Bukan bau matahari dan debu jalanan.

Bau tanah basah.

Dia menyodorkan hp-nya. Layar retak. Aku mencoret asal di layar itu dengan jari telunjuk yang gemetar.

"Makasih."

Dia tidak menjawab. Dia hanya diam. Helm itu menatapku. Aku bisa merasakan matanya di balik kaca gelap itu. Menelanjangi kecemasanku. Menertawakan hoodie-ku yang kotor.

Aku menyambar paket itu. Banting pintu. Kunci.

Satu. Dua. Tiga. Slot atas. Slot bawah. Rantai.

Aman.

Napas memburu. Punggungku menempel di daun pintu. Dingin kayu menjalar ke tulang belakang. Pergi. Cepat pergi. Aku menunggu suara motor itu menyala.

Hening.

Satu detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik.

Kenapa dia belum pergi?

Aku menahan napas. Telingaku menempel ke pintu. Tidak ada suara langkah kaki. Tidak ada suara mesin. Apa dia masih berdiri di sana? Di depan pintu? Menunggu?

Menunggu apa?

Aku mau mengintip lewat lubang kunci, tapi takut. Takut ada mata lain yang juga sedang mengintip dari luar. Saling bertatapan.

Satu menit berlalu.

Brrumm.

Bunyi motor menjauh. Pelan. Tanpa digas kencang. Seperti sengaja supaya tidak terdengar.

Kakiku lemas. Aku merosot duduk di lantai. Memeluk paket itu. Kotaknya ringan. Terlalu ringan. Apa yang kupesan? Skincare? Baju dinas malam? Lensa kontak? Aku lupa. Tiap malam, saat insomnia menyerang, jari-jariku menari di layar hp. Checkout. Checkout. Checkout. Lupa apa isinya, yang penting beli.

Aku membawa kotak itu ke kamar. Zona nyamanku.

Kamar ini berantakan. Ring light berdiri seperti tiang gantungan di sudut. Laptop menyala, menampilkan dashboard media sosial. Angka followers. Angka likes. Angka-angka semu yang mendefinisikan eksistensiku. Di layar itu, aku cantik. Aku mulus. Aku bahagia.

Di sini, aku cuma daging yang ketakutan.

Aku duduk di kasur. Mengambil cutter di meja nakas. Mata pisau berkarat sedikit.

Sreeet.

Suara irisan selotip. Bunyi paling indah di dunia.

Kardus terbuka. Tidak ada bubble wrap. Aneh. Biasanya seller pelit pun kasih koran bekas. Ini kosong.

Cuma ada satu kotak kecil lagi di dalamnya. Kotak beludru merah. Mirip kotak cincin, tapi lebih besar sedikit. Kotor. Beludru itu ada bercak noda gelap. Seperti minyak... atau darah kering?

Jantungku mulai tidak enak. Ritmenya kacau.

Apa aku pesan perhiasan antik? Seingatku tidak. Saldo rekeningku sedang kritis. Aku tidak mungkin beli barang mewah.

Tanganku berkeringat. Licin saat memegang kotak beludru itu. Baunya menyengat. Bau zat besi. Amis.

Aku membukanya.

Bukan cincin.

Nafasku berhenti total.

Di atas bantalan busa putih yang sudah menguning, tergeletak benda kecil itu. Warnanya putih kekuningan, kontras dengan noda merah kecokelatan yang mengering di sekitarnya.

Itu bukan batu, bukan manik-manik. Benda itu memiliki akar yang bergerigi tajam, dengan serabut daging mati yang masih menempel, seolah baru saja dicabut paksa dari gusi yang berdarah.

Gigi.

Sebuah geraham kecil yang retak di bagian mahkotanya.Dan di sebelahnya, melingkar rapi seperti cincin, adalah seikat rambut. Hitam. Panjang. Kusut. Diikat dengan benang merah tipis.

Aku melempar kotak itu.

Benda itu jatuh ke lantai. Gigi itu menggelinding. Berhenti tepat di dekat kaki meja rias.

"Anjing."

Aku mundur sampai punggung menabrak kepala ranjang. Mataku melotot ke arah gigi itu. Benda mati. Tapi rasanya dia hidup. Rasanya dia sedang menatapku.

Ini apa? Prank?

Siapa yang kirim? Haters?

Aku merangkak, mengambil kardus pembungkus tadi. Mencari label pengiriman.

Kosong.

Tidak ada nama pengirim. Tidak ada alamat toko. Tidak ada barcode ekspedisi.

Hanya ada satu stiker putih polos di tengah. Tulisan tangan. Tinta spidol hitam. Tebal. Agak miring ke kiri.

UNTUK AMINAH YANG CANTIK

Perutku mual.

Tulisan itu. Aku kenal tulisan itu? Tidak. Tapi rasanya familiar. Rasanya intim. Terlalu intim.

Aku menyambar hp. Buka aplikasi belanja. Cek riwayat pesanan. Sedang dikemas. Sedang dikirim. Tiba di tujuan. Semua wajar. Baju. Makanan kucing (padahal aku tidak punya kucing, cuma suka kasih makan kucing liar). Sabun cuci muka.

Tidak ada yang jual gigi. Tidak ada yang jual rambut.

Tanganku gemetar hebat. HP hampir jatuh. Aku harus lapor polisi? Lapor apa? "Pak, saya dapat kiriman gigi?" Mereka akan tertawa. Atau mereka akan minta bukti ancaman. Ini ancaman bukan? Ini teror.

Aku memungut gigi itu dengan tisu. Jijik. Rasanya mau muntah. Teksturnya keras, dingin. Aku memasukkannya kembali ke kotak beludru. Rambut itu juga. Baunya...

Aku mendekatkan rambut itu ke hidung. Ragu-ragu.

Baunya sampo.

Sampo stroberi murah.

Lututku lemas seketika.

Itu sampo yang kupakai. Merek yang sama. Wangi yang sama.

Aku lari ke kamar mandi. Bercermin. Menarik rambutku sendiri. Panjang, hitam, kusut. Sama. Persis.

Apa ini rambutku? Kapan dia ambil? Aku tidak pernah potong rambut di salon. Aku potong sendiri. Di sini. Di kamar mandi ini. Potongan rambut selalu kubuang ke kloset atau tempat sampah.

Siapa yang mengaduk tempat sampahku?

Atau lebih parah... siapa yang memotongnya saat aku tidak sadar?

Tidak mungkin. Pintu dikunci. Jendela diteralis. Tidak ada celah. Tikus saja susah masuk, apalagi orang.

Malam datang terlalu cepat. Langit di luar jendela berubah ungu lebam, lalu hitam pekat. Lampu jalan di komplek ini mati dua, sisanya kedip-kedip seperti mau mati juga.

Aku menyalakan semua lampu. Ruang tamu. Dapur. Kamar mandi. Lorong. Tidak boleh ada sudut gelap. Listrik boros, masa bodoh. Kegelapan menyembunyikan monster. Cahaya membakar mereka. Logika kanak-kanak, tapi itu yang kupunya.

Pukul 23.15.

Aku duduk di sofa ruang tamu. Menghadap pintu. Cutter di tangan kanan. HP di tangan kiri. Televisi menyala, volume kecil. Sinetron bodoh. Aku butuh suara manusia lain.

Tok.

Satu ketukan. Pelan. Di kaca jendela depan.

Aku membeku.

Itu bukan angin. Angin tidak mengetuk berirama.

Tok. Tok.

Jelas. Kaca bergetar sedikit.

Gorden tertutup rapat. Gorden tebal warna abu-abu. Aku tidak bisa lihat keluar.

"Siapa?" teriakku. Suaraku sumbang. Terdengar menyedihkan di telingaku sendiri.

Hening.

Aku berdiri. Kaki seperti jeli. Aku melangkah mendekati jendela. Cutter kuacungkan ke depan. Konyol. Kalau dia di luar, cutter ini buat apa? Buat potong gorden?

Aku menyibakkan gorden sedikit. Sangat sedikit.

Gelap. Teras kosong. Pagar tertutup. Tidak ada orang.

Hanya ada satu amplop cokelat tergeletak di lantai teras. Tepat di depan pintu.

Kapan dia taruh?

Aku tidak dengar pagar dibuka. Pagar itu berkarat. Engselnya menjerit kalau didorong. Tadi tidak ada suara jeritan besi. Bagaimana dia bisa masuk ke teras tanpa buka pagar? Lompat? Pagar itu tinggi, ujungnya runcing.

Keingintahuan adalah penyakit. Dan aku sakit parah.

Aku membuka kunci pintu. Slot atas. Slot bawah. Rantai. Tangan gemetar bikin proses ini lama. Sialan. Cepat.

Pintu terbuka. Angin malam menampar wajah. Dingin.

Aku menyambar amplop itu secepat kilat. Masuk lagi. Banting pintu. Kunci lagi.

Satu. Dua. Tiga.

Punggung menempel pintu lagi. Jantung rasanya mau meledak. Sakit di dada kiri.

Amplop ini tipis. Tidak ada tulisan apa-apa. Polos.

Aku merobeknya kasar.

Isinya selembar foto. Foto polaroid.

Gambar di foto itu buram karena minim cahaya. Grainy. Kualitas rendah. Tapi objeknya jelas.

Seorang perempuan sedang tidur. Mulut sedikit terbuka. Selimut motif beruang menutupi sampai dada. Rambut berantakan di bantal.

Itu aku.

Itu selimutku. Itu bantalku.

Aku membalik foto itu. Ada tulisan lagi. Spidol hitam yang sama.

TIDURMU NYENYAK SEKALI, SAYANG.

Mataku beralih dari foto ke kamar tidurku. Pintunya terbuka.

Foto ini diambil dari sudut lemari pakaian. Dari atas.

Sudut high angle.

Siapapun yang memotret ini, dia tidak berdiri di lantai. Dia tidak mengintip dari jendela.

Dia ada di atas lemari.

Atau dia melayang.

Atau dia tinggi sekali.

Aku berlari ke kamar. Mengecek lemari. Kosong. Mengecek kolong kasur. Kosong. Mengecek jendela. Terkunci rapat. Teralis utuh. Tidak ada bekas congkelan.

Keringat dingin membasahi punggung.

Aku melihat sekeliling ruangan. Kamar ini 3x3 meter. Tidak ada tempat sembunyi.

Kecuali...

Mataku tertuju ke plafon.

Ada satu kotak akses ke atap di sudut langit-langit. Tripleknya sedikit miring. Ada celah hitam selebar jari di sana.

Gelap.

Dan dari celah itu, aku merasa ada yang sedang melihatku.

Tidak. Itu cuma sugesti. Itu cuma bayangan. Plafon itu sudah miring sejak aku pindah setahun lalu. Rumah subsidi kualitas rendah. Fondasi turun. Wajar.

Wajar, kan?

Aku mundur keluar kamar. Menutup pintu kamar rapat-rapat. Menguncinya dari luar.

Malam ini aku tidur di ruang tamu. Dengan lampu menyala. Dengan cutter di tangan.

Tapi sebelum itu, aku butuh bukti. Polisi butuh bukti.

Aku mengambil HP. Buka aplikasi marketplace.

Cari: CCTV Wi-Fi. Night Vision. Motion Detector. Pengiriman Instan.

Beli.

Besok, rumah ini akan jadi benteng. Tidak akan ada lagi tikus yang bisa masuk tanpa kulihat.

Tapi malam ini... malam ini panjang sekali.

Dan di dalam kamar yang terkunci itu, aku mendengar sesuatu. Lirih. Sangat lirih.

Seperti suara kuku menggaruk gypsum.

Sreeek... sreeek...

Aku membesarkan volume TV.

Aku tidak dengar. Aku tidak dengar. Aku tidak dengar.

Bab 2: Penjara Kaca dan Mata-Mata Kecil

Paket itu datang lagi. Kali ini pesanan sadar.

Empat kotak putih. CCTV Wi-Fi. 1080p. Night Vision.

Aku menyobek segelnya kasar. Tidak ada waktu baca manual. Ketakutan membuatku jadi teknisi dadakan. Aku panjat kursi. Bor menyalak. Drrrrt. Debu tembok masuk mata. Pedih. Masa bodoh.

Satu di ruang tamu. Sapu bersih pintu utama dan jendela. Satu di dapur. Satu di lorong. Satu lagi di kamar tidur. Tepat di atas lemari, menodong ke kasurku.

Koneksi hidup. Layar HP-ku jadi papan catur. Empat kotak. Empat sudut neraka kecilku.

Kotak 1: Sofa abu-abu. Kotak 2: Piring kotor. Kotak 3: Lorong gelap. Kotak 4: Kasurku.

"Aman," bisikku. Bohong. Ini cuma plasebo digital.

Siang bolong aku ke polsek. Matahari menyengat, tapi aku menggigil.

Di meja piket, polisi muda itu duduk santai. Nametag-nya: VERREL. Wajahnya terlalu bersih, rambutnya terlalu klimis untuk mengurusi orang gila sepertiku. Dia main HP, rokok mengepul. Dan dia pakai rompi anti peluru. Kevlar.

"Jadi, Mbak diteror?" tanyanya tanpa menoleh.

"Iya. Paket aneh. Gigi. Rambut. Foto saya tidur." Aku banting barang bukti ke meja.

Verrel melirik malas. Dia pungut plastik berisi gigi itu dengan ujung jari, jijik. "Gigi asli?"

"Masih ada akarnya. Bau amis."

Dia terkekeh, melempar plastik itu kembali ke meja. "Mainan resin ini, Mbak. Atau properti syuting? Jaman sekarang orang rela ngelakuin apa aja demi konten FYP." Verrel menatapku tajam, sorot matanya bukan cuma malas, tapi lelah.

"Denger, Mbak Aminah. Sebulan ini ada lima laporan teror kayak gini. Ujung-ujungnya apa? Mantan iseng, atau halusinasi karena kurang tidur. Gak ada kerusakan pintu, gak ada jendela dicongkel. Kalau saya kirim tim forensik cuma buat sebutir gigi mainan, saya yang dipecat."

"Jadi nunggu saya mati dulu?"

"Jangan drama. Kita tampung laporannya. Saran saya: ganti kunci, pasang CCTV."

"Sudah!"

"Ya bagus. Kalo ada rekaman malingnya masuk, bawa sini. Kalo cuma foto ginian... susah. Siapa tau Mbak lupa kunci pintu, terus temen iseng masuk."

Aku sambar tasku. Keluar. Banting pintu.

Polisi sampah. Hukum cuma buat orang yang punya duit atau punya mayat. Aku belum punya dua-duanya.

Malam kedua.

Rumahku jadi kokpit pesawat tempur. Laptop, tablet, HP. Semua nyala. Menampilkan satu hal: live feed rumah sendiri.

Jam 01.15.

Mata sepet. Kopi habis. Jantung berpacu lebih cepat dari jam dinding. Hening. Cuma suara dengung kulkas dan napasku yang putus-putus.

Ting.

WhatsApp masuk.

Aji: Kamu kenapa sih yank? Spam chat gak jelas. Obat abis?

Darahku naik. Aji pacarku, tapi empatinya nol.

Aminah: Serius, Ji. Ada yang masuk. Verrel si polisi itu gak guna. Sini temenin. Aku takut.

Aji: Gak bisa. Lembur. Besok pagi aku mampir. Kunci pintu. Tidur. Jangan halu.

HP kulempar ke kasur. Aji gak akan datang. Aku sendiri.

Fokus. Layar CCTV. Mata berpindah cepat. Tamu. Dapur. Lorong. Kamar.

Tunggu. Kamera 1. Ruang Tamu. Gorden jendela bergerak. Sedikit. Tapi pasti. Seperti ada tangan yang menyibak dari balik kain.

Aku zoom. Pecah. Piksel buram menari. Angin? Mustahil. AC mati. Aku turun dari kasur. Sambar cutter. Lari kecil ke ruang tamu. Kosong. Jendela terkunci rapat. Gorden diam. Paranoia? Mungkin.

Aku ke dapur. Ambil air. Tangan gemetar bikin air tumpah ke dagu. Saat mau balik ke kamar, HP di saku celana bergetar panjang. Alarm aplikasi.

MOTION DETECTED: BEDROOM - 01:20 AM

Jantungku berhenti. Kamar tidur? Aku baru saja keluar dari sana lima detik lalu!

Tangan gemetar membuka notifikasi. Putar klip rekaman. Mode Night Vision. Hitam putih.

Detik 01: Aku keluar kamar bawa cutter. Detik 03: Kamar kosong. Detik 05: Kolong kasur bergerak.

Mataku melotot. Napas tercekat. Tangan. Tangan panjang, kurus, pucat. Jari-jarinya terlalu banyak ruas. Keluar dari celah dipan. Meraba lantai.

Kepala menyembul. Rambut panjang gimbal menutupi muka. Sosok itu merangkak keluar. Patah-patah. Seperti serangga raksasa. Dia berdiri. Tinggi. Kurus kering. Baju hitam ketat. Dia berdiri di tengah kamarku. Lalu mendongak. Menatap lurus ke kamera CCTV.

Dia melambai. Pelan. Mengejek.

Dia tahu aku nonton.

Sekarang... dia ada di dalam kamar itu. Kunci pintu depan ada di meja rias di dalam kamar. Kunci pintu belakang juga sama.

Aku terkunci. Bersama dia.

Sreeek.

Suara seretan kaki. Bukan dari kamar. Dari atas. Plafon dapur.

Aku mendongak pelan. Ventilasi udara berkarat. Ada mata. Putih. Tanpa pupil. Menatapku dari celah jeruji besi. Mulutnya menyeringai. Gigi runcing kekuningan.

Ctak.

Listrik mati. Gelap total. Sinyal Wi-Fi putus. "Aminah..." Bisikan itu. Serak. Dekat. Di telinga.

Aku lari buta. Tabrak meja makan. Kursi jatuh. Gaduh. Pojok dapur. Aku meringkuk di samping kulkas. Tutup telinga. "Tolong... tolong..."

Tap. Tap. Tap. Langkah kaki cepat di lantai keramik. Bukan sepatu. Kuku. Mendekat.

Aku memejamkan mata rapat-rapat. Menunggu sakit. Menunggu pisau. Hening. Satu menit. Dua menit. Tidak ada sentuhan.

Aku nyalakan senter HP. Baterai 12%. Cahaya menyapu dapur. Kosong.

Tapi di pintu kulkas, ada yang baru. Foto polaroid. Masih basah. Ditempel pakai ludah.

Aku mendekat. Foto itu buram kena flash. Gambar seorang perempuan meringkuk di pojok dapur. Aku. Barusan. Dan di belakangku... sosok hitam itu berdiri membungkuk. Wajahnya menempel di rambutku.

Dia tidak pergi. Dia main-main.

Bip. HP getar. Listrik nyala mendadak. Silau. Foto di kulkas hilang. Tidak ada jejak.

Gila? Apa aku gila?! Tanganku gemetar buka HP. Koneksi CCTV balik. Cek Kamera 4. Kamar tidur.

Darahku surut. Kasurku rapi. Seprai bunga biru sudah hilang. Diganti seprai merah darah. Licin. Rapi. Tanpa kerutan.

Dan di tengah kasur... Boneka beruang masa kecilku duduk manis. Lehernya terlilit kabel charger HP. Matanya menatap kamera.

Boneka itu... harusnya ada di kardus gudang. Di atas plafon. Yang dipaku mati.

Dia sudah turun.

Bab 3: Tamu Tak Diundang dan Tetangga yang Tuli

Matahari terbit. Cahayanya abu-abu, menembus gorden yang kusingkap sedikit.

Aku masih di posisi yang sama. Duduk di lantai ruang tamu, punggung menempel pada kaki sofa. Pisau dapur di pangkuan. Mata merah, perih, bengkak.

Aku selamat.

Atau mungkin dia sengaja membiarkanku hidup untuk satu ronde lagi.

Di layar HP, feed CCTV kamar tidur masih menampilkan pemandangan yang sama. Seprai merah darah. Boneka beruang yang terjerat kabel. Benda itu diam. Menatap lensa kamera dengan mata kancing plastik yang mati.

Aku tidak berani masuk ke sana. Aku kencing di botol air mineral kosong di dapur karena takut ke kamar mandi. Bau pesing bercampur bau keringat dingin memenuhi ruang tamu.

Brak. Brak. Brak.

Pintu depan digedor. Keras.

Aku tersentak. Pisau teracung otomatis.

"Aminah! Buka!"

Suara Aji.

Napas yang tertahan di dada perlahan keluar. Aji. Dia datang. Dia nyata.

Aku merangkak, memindahkan kursi pengganjal pintu. Tangan gemetar memutar kunci. Slot atas. Slot bawah. Rantai.

Pintu terbuka.

Aji berdiri di sana. Wajahnya kusut. Masih pakai kemeja kerja kemarin yang sudah lecek. Dia menatapku dari atas ke bawah. Tatapan jijik bercampur kaget.

"Astaga. Kamu kayak mayat hidup."

Dia masuk tanpa permisi. Bau parfum murah dan rokok menyeruak. Dulu bau ini menenangkan. Sekarang, bau ini membuatku waspada.

"Kamu dari mana?" tanyaku. Suaraku serak, seperti parutan kelapa.

"Kerja lah. Lembur. Kan aku udah bilang di WA." Dia melempar tas kerjanya ke sofa. Tas itu berat. Bunyinya buk saat mendarat.

Isinya apa? Laptop? Atau... alat pemotong? Tali?

Otakku mulai menyusun skenario. Aji punya kunci cadangan. Aji tahu letak sekring listrik. Aji tahu aku sendirian.

"Kamu bohong," bisikku.

Aji berhenti melangkah. Dia menoleh. "Apa?"

"Kamu bohong. Semalam kamu ke sini, kan?"

Aji mengerutkan kening. "Ngaco. Aku di kantor sampai jam 3 pagi. Terus tidur di mushola kantor sebentar. Nih, liat log absen kalau nggak percaya."

Dia merogoh saku celana. Mengeluarkan HP.

Gerakannya cepat. Tanganku mencengkeram pisau lebih erat di balik punggung.

"Ngapain kamu pegang pisau?" Matanya menyipit. Dia melihat gagang kayu yang menyembul dari balik pinggangku.

"Jaga diri. Ada orang masuk semalam, Ji. Dia ganti seprai kasurku. Dia taruh boneka."

Aji menghela napas panjang. Napas orang yang lelah menghadapi drama. "Mana? Coba liat."

Dia berjalan menuju kamar tidur. Langkahnya mantap. Tidak ada rasa takut. Tentu saja dia tidak takut. Kalau dia pelakunya, kenapa harus takut?

Aku mengikutinya dari jarak aman. Tiga langkah di belakang. Pisau siap di tangan.

Aji berdiri di ambang pintu kamar. Dia diam.

"Anjir..." gumamnya.

Dia melihat seprai merah itu. Dia melihat boneka beruang itu.

"Kamu beli seprai baru lagi? Kapan? Perasaan duit kamu lagi seret."

Pertanyaan bodoh.

"Bukan aku yang beli! Orang itu yang pasang! Dia masuk, Aji! Dia ngumpet di kolong kasur!"

Aji masuk ke kamar. Dia menyentuh seprai merah itu. Mengelusnya.

"Bahannya bagus. Satin. Mahal nih."

"Aji! Dengerin aku!" Aku menjerit. "Ada orang gila di rumah ini!"

Aji berbalik. Wajahnya merah. "Kamu yang gila, Aminah! Liat diri kamu! Rambut gimbul, bau pesing, bawa-bawa pisau! Kamu lupa minum obat berapa hari?"

"Aku nggak gila!"

"Terus ini apa?" Aji menunjuk boneka beruang itu. "Ini boneka kamu jaman SD kan? Yang kamu simpen di gudang atas? Siapa yang bisa ambil kalau bukan kamu sendiri? Kamu manjat plafon malem-malem pas lagi kumat, terus lupa. Iya kan?"

"Enggak!"

"Ngaku aja. Dulu juga gitu. Kamu belanja online jutaan, terus pas barang dateng kamu nangis-nangis bilang nggak pesen. Amnesia disosiatif. Kata dokter gitu kan?"

Dada kiriku nyeri. Aji menggunakan masa laluku sebagai senjata. Dia memutarbalikkan fakta.

"CCTV..." kataku terbata. "Aku punya rekaman CCTV. Orang itu keluar dari kolong kasur."

Aku menyodorkan HP-ku. Membuka aplikasi. Galeri rekaman.

File Corrupted.

Layar hitam. Ada tulisan peringatan merah. File tidak bisa diputar.

Aku coba file lain. Rekaman saat mati lampu.

File Corrupted.

Tanganku dingin. "Tadi ada... sumpah tadi ada..."

Aji tertawa sinis. "Tuh kan. Halu. Udahlah, Min. Kamu butuh psikiater, bukan polisi. Ayo mandi. Bau banget sumpah. Kita ke rumah sakit."

Dia maju selangkah hendak memegang tanganku.

Aku mundur. Mengacungkan pisau. "JANGAN SENTUH!"

Aji berhenti. Matanya melotot. "Oke. Oke. Tenang. Taruh pisaunya."

"Keluar."

"Min..."

"KELUAR! Kamu sekongkol sama dia kan? Atau kamu pelakunya? Kamu yang edit CCTV-nya? Kamu orang IT, Ji. Kamu bisa kan ngerusak file dari jauh?"

Aji menggeleng tak percaya. "Wah, sakit jiwa beneran ni orang. Aku mau nolongin kamu, Min."

"Keluar atau aku teriak!"

Aji mengangkat tangan. Menyerah. "Oke. Aku pergi. Terserah. Mati aja sekalian sama halusinasi kamu."

Dia menyambar tasnya di sofa. Berjalan ke pintu.

Sebelum keluar, dia berhenti. Tanpa menoleh, dia bicara.

"Kunci cadangan yang kamu kasih ke aku, udah ilang seminggu lalu. Jatuh di jalan kayaknya. Jadi kalau ada yang masuk, mungkin yang nemu kunci itu. Pikirin itu."

Blam.

Pintu tertutup.

Aku sendirian lagi.

Lututku lemas. Aku jatuh terduduk.

Kunci cadangan hilang? Seminggu lalu? Dan dia baru bilang sekarang?

Atau dia bohong?

Kepalaku pening. Siapa yang harus dipercaya? Rekaman CCTV rusak. Bukti fisik dianggap prank. Pacar sendiri menganggapku gila.

Aku merangkak ke pintu. Menguncinya lagi.

Siang itu berjalan lambat seperti siksaan. Aku tidak berani tidur. Aku minum kopi sachet tiga bungkus tanpa gula. Jantungku berdetak menyakitkan, seperti mau robek dari tulang rusuk.

Aku memutuskan untuk memeriksa sekeliling rumah. Mencari celah. Aji bilang kunci hilang. Berarti pelakunya masuk lewat pintu depan?

Tapi CCTV ruang tamu tidak merekam siapa pun masuk. Pintu tidak pernah terbuka di rekaman, kecuali saat kurir datang dan saat aku ambil foto.

Lalu lewat mana?

Aku berjalan memutari rumah. Sempit. Jarak dinding rumahku dengan tembok tetangga cuma satu meter. Gang tikus yang lembap, penuh lumut.

Di dinding samping kamar tidur, ada jendela kecil. Jendela ventilasi. Tingginya dua meter dari tanah. Terlalu kecil untuk manusia dewasa. Kucing mungkin bisa.

Aku mendongak. Di atas jendela itu, ada pipa talang air. Pipa paralon abu-abu yang menjalar naik ke atap.

Pipa itu kotor. Ada bekas lumpur.

Bekas telapak tangan?

Aku menyipitkan mata. Matahari silau. Ya, ada noda cokelat di pipa putih itu. Seperti bekas cengkeraman tangan yang kotor oleh tanah basah.

Dia memanjat?

"Mbak Aminah!"

Aku meloncat kaget. Jantung hampir copot.

Di balik pagar tembok samping yang rendah, muncul kepala Ibu Tejo. Tetangga sebelah. Rambutnya disanggul asal-asalan, daster batik kedombrongan.

"Eh, Bu... Bu Tejo. Kaget saya."

Bu Tejo tidak tersenyum. Wajahnya masam.

"Mbak, tolong dong kalau malam itu jangan gaduh. Saya punya bayi, lho. Kaget terus."

"Gaduh gimana, Bu? Saya sendirian..."

"Halah. Itu lho, lari-lari. Gluduk-gluduk. Kayak kuda." Bu Tejo menunjuk ke atas. "Di atas plafon. Di genteng. Kenceng banget suaranya. Masa tikus segede itu? Suami saya mau naik ngecek takut gentengnya pecah, tapi hujan deras."

Darahku berhenti mengalir.

Di atas plafon.

Aji bilang boneka itu dari gudang atas plafon. Bu Tejo dengar suara lari di genteng/plafon.

"Jam berapa, Bu?" tanyaku pelan.

"Ya tengah malem. Jam satu, jam dua. Tiap malem lho, Mbak. Seminggu ini. Kalau Mbak lagi senam atau apa, mbok ya siang aja."

Seminggu ini.

Sesuai dengan hilangnya kunci Aji. Sesuai dengan awal teror paket itu.

"Maaf, Bu. Nanti saya cek. Mungkin musang."

Bu Tejo mendengus. "Musang kok pake sepatu boot suaranya berat gitu. Awas lho, nanti plafonnya jebol."

Kepalanya menghilang dari balik tembok.

Aku berdiri mematung di gang sempit itu. Menatap atap rumahku sendiri. Genteng tanah liat yang kusam, berlumut.

Ada sesuatu di sana.

Bukan hantu. Bukan Aji.

Ada orang di atas sana.

Dia tidak masuk lewat pintu. Dia masuk dari atas. Membuka genteng? Masuk ke rongga plafon?

Lalu, bagaimana dia masuk ke kamar?

Lubang plafon di kamar tidur!

Triplek yang miring itu. Yang kulihat di Bab 1. Celah hitam selebar jari.

Itu bukan karena fondasi turun. Itu karena sering dibuka-tutup.

Dia turun saat aku tidur. Dia naik lagi sebelum aku bangun.

Tubuhku menggigil hebat. Panas matahari tidak terasa.

Aku berlari masuk ke rumah. Mengunci pintu belakang. Menyeret meja makan untuk mengganjalnya.

Aku masuk ke kamar tidur dengan napas tertahan. Mendongak ke langit-langit.

Triplek di pojok itu.

Sekarang, di siang hari, aku bisa melihatnya lebih jelas.

Ada bekas jari hitam di pinggiran cat putih gypsum. Bekas minyak. Bekas daki.

Dan sehelai rambut panjang menjuntai dari celah itu. Bergoyang pelan kena angin AC.

Dia di sana.

Mungkin sekarang pun dia sedang melihatku dari celah itu.

Aku mundur pelan-pelan. Keluar kamar.

Aku harus apa?

Naik ke atas dan melawannya? Aku cuma punya pisau dapur dan tubuh seberat 45 kilo. Dia... dari rekaman tangan itu... dia besar. Tangannya panjang. Kuat.

Lapor Verrel? Dia akan ketawa. "Ada musang di genteng lapor polisi?"

Panggil tukang? Siapa yang mau datang sore-sore begini ke perumahan sepi?

Aku harus menjebaknya.

Kalau dia memang tinggal di atas, dia butuh turun. Dia butuh makan. Dia butuh minum.

Aku melihat ke dapur. Sisa mi instan di panci semalam sudah habis. Bersih. Dijilat sampai kering.

Aku pikir aku yang makan sambil melamun. Ternyata bukan.

Dia hama. Hama manusia.

Aku punya rencana. Rencana gila.

Aku pergi ke dapur. Mengambil racun tikus. Bubuk hitam yang kubeli bulan lalu tapi belum sempat dipakai.

Aku masak mi instan lagi. Dua bungkus. Baunya harum. Menyengat.

Aku taburkan bubuk hitam itu ke dalam kuah mi. Mengaduknya rata. Warnanya jadi agak keruh, tapi tertutup bumbu kecap.

Aku taruh mangkuk itu di meja makan. Di tengah-tengah.

Lalu aku "pergi".

Aku buka pintu depan keras-keras. "Aku pergi dulu ya! Mau nginep di hotel!" teriakku pada rumah kosong.

Aku banting pintu dari luar. Menguncinya.

Tapi aku tidak pergi.

Aku mengendap-endap lewat samping rumah. Masuk lagi lewat jendela gudang belakang yang engselnya rusak—satu-satunya celah yang lupa aku perbaiki, dan aku harap dia tidak tahu aku tahu.

Aku sembunyi di dalam lemari sapu di dapur. Sempit. Bau debu.

Dari celah pintu lemari, aku bisa melihat meja makan.

Aku menunggu.

Jam 5 sore. Langit mulai gelap. Hujan turun lagi. Rintik-rintik, lalu menderas. Suara air menghantam atap seng kanopi meredam segalanya.

Kakiku kram. Semut menggigit betis. Aku tidak bergerak.

Bau debu di dalam lemari mulai mencekik. Oksigen menipis, digantikan oleh aroma pesing dari pel kain yang belum kering. Setiap detak jarum jam di dinding ruang tengah terdengar seperti palu godam yang menghantam kepalaku.

Tik. Tak. Tik. Tak.

Aku ingin batuk, tenggorokanku gatal bukan main, tapi kutahan mati-matian sampai air mata merembes keluar.

Salah sedikit, aku mati.

Jam 6 sore. Maghrib lewat. Gelap. Lampu dapur tidak kunyalakan. Hanya ada cahaya remang dari lampu jalan yang masuk lewat ventilasi.

Kreek.

Suara itu.

Bukan dari pintu.

Dari lorong.

Suara langkah kaki berat. Tidak diseret. Tapi hati-hati.

Aku menahan napas. Jantungku berdetak begitu keras sampai rasanya seluruh lemari ikut bergetar.

Sosok itu muncul dari kegelapan lorong.

Tinggi. Sangat tinggi. Kepalanya hampir menyentuh kusen pintu.

Rambutnya panjang, gimbal, menutupi wajah. Bajunya... itu baju-baju bekas milikku yang hilang dari jemuran. Daster. Kaos oversize. Dia memakainya berlapis-lapis, membuatnya terlihat bengkak dan aneh.

Baunya tercium sampai ke dalam lemari. Bau tanah basah. Bau kencing. Bau busuk daging mati.

Dia berjalan ke meja makan. Melihat mangkuk mi itu.

Dia mendengus. Seperti binatang mengendus mangsa.

Tangannya—tangan pucat dengan kuku hitam panjang itu—mengambil mangkuk.

Dia tidak pakai sendok. Dia mengangkat mangkuk itu dan menenggaknya langsung.

Bunyi slurp yang menjijikkan memenuhi dapur.

Minum. Habiskan. Matilah kau.

Tiba-tiba dia berhenti.

Dia membanting mangkuk itu ke lantai. Prang! Pecah berkeping-keping. Kuah racun berceceran.

Dia tahu.

Kepalanya berputar cepat. Mencari-cari.

Bukan ke arah pintu keluar.

Tapi lurus ke arah lemari sapu tempatku sembunyi.

Dia menggeram. Suara rendah yang bergetar di dada.

"Aminah..."

Dia tidak memanggil. Dia mengejek.

Dia berjalan mendekat.

Aku mencengkeram pisau di dada.

Satu langkah.

Dua langkah.

Tiba-tiba, HP-ku di saku celana berbunyi.

Bukan notifikasi WA. Bukan telepon.

Tapi suara alarm token listrik yang habis.

Tit. Tit. Tit. Tit.

Suaranya nyaring sekali di keheningan dapur.

Sosok itu berhenti tepat di depan pintu lemari.

Aku bisa melihat jemari kakinya yang telanjang, hitam, dan bengkak dari celah bawah pintu.

Dia membungkuk.

Mata putih tanpa pupil itu menempel di celah ventilasi pintu lemari. Menatap mataku.

"Kamu pelit," bisiknya. "Minya nggak enak."

Lalu dia tertawa. Suara tawa kering, seperti gesekan dahan pohon mati.

Dia memegang pegangan pintu lemari.

Dan menariknya.

Bab 4: Labirin Tanpa Cahaya

Pintu lemari terbuka.

Bau busuk itu menghantam wajahku lebih dulu daripada sosoknya. Bau got, bau keringat basi, dan bau aneh yang manis... bau darah lama.

Aku tidak berpikir. Otak reptilku mengambil alih.

Saat tangan pucat itu terulur hendak meraih rambutku, aku mengayunkan pisau dapur di tanganku. Membabi buta.

Sreeet!

Bukan suara tusukan. Suara sobekan.

"ARGH!"

Makhluk itu meraung. Suaranya serak, pecah, sangat manusiawi. Pisauku mengenai lengan bawahnya. Darah hitam muncrat ke wajahku. Hangat. Amis.

Dia mundur selangkah, memegang tangannya yang robek.

Itu celahku.

Aku menendang tulang keringnya sekuat tenaga, lalu menghambur keluar dari lemari sapu. Kakiku tergelincir di atas pecahan mangkuk dan kuah mi beracun yang licin. Aku jatuh berlutut. Kaca menusuk lututku. Perih.

"Jalang kecil..." geramnya.

Dia menerjang.

Aku berguling ke samping. Tangannya menghantam lantai keramik tempat kepalaku berada sedetik lalu. Brak! Lantai retak. Tenaganya gila.

Aku bangkit dan lari.

Bukan ke pintu depan—terlalu jauh, ada meja makan yang menghalangi. Bukan ke pintu belakang—terkunci dan diganjal meja.

Ke kamar.

Benteng terakhirku.

Aku berlari menyusuri lorong sempit itu. Napasku seperti peluit rusak. Di belakangku, suara langkah kaki berat mengejar. Dug. Dug. Dug. Dia tidak lari. Dia melompat-lompat besar seperti binatang buas.

"Jangan lari, Aminah! Di atas dingin! Aku butuh hangat!"

Aku membanting pintu kamar. Memutar kunci.

Brak!

Tubuhnya menabrak pintu tepat saat slot terkunci. Kayu pintu berderit ngeri. Engsel atas sedikit goyah.

"Buka!"

Brak! Brak!

Aku mundur. Menyeret lemari laci plastik ke depan pintu. Menyeret meja rias. Apa saja.

Di luar, dia mengamuk. Dia mencakar pintu. Suara kukunya... sreet... sreeet... bikin ngilu sampai ke gigi.

Lalu, tiba-tiba hening.

Hanya suara hujan deras di luar dan napasku yang memburu.

Kenapa dia berhenti?

Tit. Tit. Tit.

Suara alarm token listrik di dapur masih berbunyi samar-samar. Irama kematian.

Lalu... Pet.

Mati.

Suara alarm berhenti. Kipas angin mati. Lampu jalan di luar yang biasnya masuk lewat ventilasi pun mati.

Gelap gulita.

Satu komplek mati lampu. Badai memutus segalanya.

Sekarang, aku benar-benar buta.

Aku meraba-raba dalam gelap. Tanganku menyentuh pintu lemari pakaian. Lemari jati tua peninggalan nenek. Kokoh. Tebal.

Aku masuk ke dalamnya. Menarik pintu lemari dari dalam.

Gelap di dalam gelap. Bau kamper dan baju apek.

Aku duduk memeluk lutut di antara gantungan baju. Gamis dan jaket menyentuh wajahku seperti hantu-hantu kain.

Aku aman di sini. Dia tidak bisa masuk kamar. Pintunya kutahan pakai meja rias.

Tapi... bagaimana kalau dia tidak lewat pintu?

Mataku mendongak ke atas. Ke langit-langit lemari. Di atas lemari ini, ada plafon. Plafon dengan triplek miring itu.

Kalau dia tinggal di atas... dia bisa turun kapan saja.

Tidak. Jangan pikirkan itu.

HP-ku.

Aku meraba saku. HP masih ada. Layar retak sedikit karena tadi jatuh saat berguling. Baterai 8%.

Sinyal hilang. No Service.

Tapi aku punya modem Mi-Fi portable. Modem itu punya baterai sendiri. Aku taruh di meja nakas. Kalau dia masih nyala...

Aku menyalakan Wi-Fi di HP.

Searching... Connected.

Satu bar. Lemah. Tapi ada.

Aku membuka aplikasi CCTV. Jantungku berdegup sakit sekali. Apakah kamera-kamera itu masih nyala? Aku beli yang model baterai rechargeable untuk cadangan. Harusnya masih nyala.

Loading stream...

Layar HP menyala redup, menjadi satu-satunya sumber cahaya di dalam lemari ini. Wajahku pucat terpantul di layar.

Gambar muncul. Hitam putih. Mode Night Vision.

Kamera 1 (Ruang Tamu): Kosong. Sofa diam. Pintu utama masih terkunci rapat. Kamera 2 (Dapur): Berantakan. Pecahan mangkuk di lantai. Darah (atau kuah mi?) berceceran. Pintu lemari sapu terbuka. Kamera 3 (Lorong):

Aku menahan napas.

Di lorong, tepat di depan pintu kamarku... dia berdiri.

Sosok itu.

Dia tidak lagi menggedor pintu. Dia berdiri diam, memunggungi kamera.

Rambutnya basah dan lepek. Darah menetes dari lengan kanannya ke lantai. Tetes. Tetes. Hitam di layar night vision.

Dia memegang sesuatu di tangan kirinya.

Benda panjang. Berkilat.

Linggis.

Dia punya linggis.

Darahku membeku. Pintu kamar diganjal meja rias pun tidak akan kuat kalau dihantam linggis.

Tapi dia tidak memukul pintu.

Dia mendongak. Menatap langit-langit lorong.

Dia mengangkat linggisnya.

Krak!

Dia menusukkan ujung linggis ke plafon gypsum di lorong.

Krak! Bruk!

Dia menjebol plafon.

Serpihan gypsum berjatuhan menimpa kepalanya. Dia tidak peduli. Dia memukul lagi. Memperlebar lubang.

Apa yang dia lakukan?

Dia mau naik.

Dia mau kembali ke sarangnya.

Kenapa? Apa dia menyerah? Apa dia takut karena terluka?

Aku melihatnya melompat. Tangannya yang panjang meraih rangka kayu plafon. Dia menarik tubuhnya ke atas dengan gerakan yang tidak wajar—seperti laba-laba yang ditarik benang.

Kaki kotornya menghilang ke dalam lubang gelap di langit-langit.

Lorong kosong.

Hanya ada lubang menganga di plafon.

Aku menghela napas panjang. Air mata tumpah.

Dia pergi. Dia pergi ke atas.

Mungkin dia mau ambil obat? Atau mungkin dia mau mati di sana karena racun tikus tadi sempat tertelan sedikit?

Yang jelas, dia tidak di depan pintu kamarku lagi.

Aku melihat layar HP lagi. Baterai 5%.

Aku harus lapor polisi. Sinyal modem ini mungkin cukup untuk kirim WA ke Verrel. Atau telepon darurat.

Tapi saat jempolku mau menutup aplikasi CCTV... aku melihat pergerakan di Kamera 4.

Kamera di dalam kamarku sendiri.

Kamera yang posisinya di atas lemari pakaian tempatku sembunyi. Sudut pandangnya menyorot ke seluruh kamar.

Di layar HP, aku melihat kamar tidurku yang gelap gulita (terang karena night vision).

Pintu kamar masih tertutup, terganjal meja rias. Kasur dengan seprai merah itu masih di sana.

Aman.

Tapi... tunggu.

Mataku tertuju pada lantai kamar.

Ada debu. Debu putih. Jatuh perlahan dari atas. Seperti salju.

Jatuh tepat di depan lemari pakaian tempatku sembunyi.

Aku mendongak di dalam lemari. Menatap atap lemari kayu ini.

Sreeek...

Suara itu.

Bukan dari rekaman HP. Tapi langsung di atas kepalaku.

Suara gesekan tubuh yang merayap di atas kayu.

Di atas lemari.

Dia tidak naik ke atas untuk pergi.

Dia naik ke atas lorong... untuk merayap lewat rongga plafon... dan turun ke kamar ini lewat lubang di atas lemari.

Dia sudah ada di dalam kamar.

Tepat di atas kotak kayu tempatku bersembunyi.

Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Menahan jeritan yang sudah di ujung lidah.

Di layar HP, aku melihatnya.

Dari sudut atas layar Kamera 4, sepasang kaki pucat turun perlahan. Menginjak bagian atas lemari.

Lalu dia melompat turun ke lantai kamar. Tanpa suara.

Dia berdiri di depan lemari.

Dia membelakangi lemari. Menghadap ke kasur.

Dia pikir aku sembunyi di kolong kasur? Atau di kamar mandi dalam?

Dia memegang linggis itu erat-erat. Tubuhnya gemetar. Marah.

"Keluar..." desisnya. Suaranya bergema di kamar yang sunyi.

Aku bisa mendengar suaranya dua kali. Satu dari speaker HP (ada delay sedetik), satu lagi langsung dari balik pintu tipis lemari ini.

Jarak kami cuma 2 sentimeter. Terpisah selembar kayu jati.

Jangan bergerak. Jangan bernapas. Jantung, tolong berhenti berdetak.

Dia melangkah menjauh dari lemari. Menuju kolong kasur.

Dia membungkuk. Mengintip kolong kasur.

"Kosong..."

Dia bangkit. Memukul kasur dengan linggis. Buk! Buk! Kapuk berterbangan.

"Di mana kamu, Cantik?"

Dia berbalik.

Wajahnya menghadap ke arah lemari. Menghadap ke arahku (meski terhalang pintu).

Untuk pertama kalinya, lewat layar HP, aku melihat wajahnya dengan jelas.

Wajah itu hancur. Kulitnya melepuh dan penuh koreng. Matanya liar, satu kelopaknya turun setengah. Bibirnya sobek, memperlihatkan gusi yang hitam.

Dan di lehernya... ada kalung.

Kalung liontin emas berbentuk hati.

Itu kalungku. Kalung yang hilang dua bulan lalu.

Dia memakainya.

Dia berjalan mendekati lemari.

Langkah pelan. Diseret.

Dia berhenti tepat di depan pintu lemari.

Tangannya terulur. Menyentuh gagang pintu lemari.

Di layar HP, aku melihat tangan itu memegang gagang pintu.

Di dunia nyata, aku melihat gagang pintu lemari di depanku berputar perlahan.

Klek.

Terkunci.

Aku menguncinya dari dalam tadi. Refleks.

Dia diam.

Dia tahu aku di dalam.

Dia mendekatkan wajahnya ke pintu lemari.

"Tok... tok... tok..."

Dia mengetuk pintu lemari dengan lembut pakai ujung linggis.

"Aminah... ada paket..."

Bab 5: Kotak Pandora

"Aminah... ada paket..."

Suara itu menembus pori-pori kayu jati, merayap masuk ke telingaku yang berdenging. Aku mendekap lutut erat-erat, menahan isak tangis agar tak pecah. Air mata mengalir dalam diam, membasahi lutut celanaku yang sobek.

Di luar, dia tertawa kecil. Tawa itu basah. Tawa orang yang sedang menikmati hidangan pembuka.

"Nggak mau buka? Ya sudah. Biar kurir yang simpan paketnya."

Hening.

Aku menatap layar HP yang menyala redup di pangkuan. Sinyal Wi-Fi satu bar, berkedip-kedip seperti nyawa yang sekarat.

Di layar Kamera 4, aku melihat punggungnya. Punggung yang bungkuk dan penuh luka melepuh itu. Dia berhenti mengetuk pintu lemari.

Dia melakukan sesuatu pada gagang pintu lemari.

Dia mengambil linggisnya. Menyelipkannya di antara dua gagang pintu lemari yang berbentuk cincin besi. Memutarnya. Menguncinya.

Krak.

Suara besi beradu besi terdengar nyata di telingaku.

Dia tidak mencoba masuk. Dia justru mengurungku di dalam.

"Biar kamu nggak lari, Cantik," gumamnya.

Lalu, di layar HP, aku melihatnya berjalan menjauh.

Dia tidak keluar lewat pintu kamar yang terganjal meja rias. Dia berjalan ke tengah ruangan, tepat di bawah lubang plafon yang tadi dia jebol.

Dia mendongak. Melompat. Meraih rangka kayu plafon dengan tangan panjangnya yang berlumuran darah hitam.

Sekali tarik, tubuh kurusnya melesat naik. Kakinya menendang udara, lalu menghilang ke dalam kegelapan lubang di langit-langit.

Debu gypsum berjatuhan.

Lalu sunyi.

Kamar kosong. Hanya ada seprai merah darah dan boneka beruang yang menatap hampa.

Aku menunggu. Satu menit. Dua menit.

Mataku tidak lepas dari lubang plafon di layar HP. Berharap dia tidak turun lagi.

Lima menit berlalu. Tidak ada gerakan.

Aku menghembuskan napas panjang yang gemetar.

Dia pergi. Dia kembali ke sarangnya di atap. Mungkin dia mau mengobati lukanya? Pisauku tadi menyayatnya cukup dalam. Atau mungkin dia takut karena aku diam saja?

Apapun alasannya, aku punya waktu.

Aku mencoba membuka WA. Pesan ke Verrel.

SENDING...

Lingkaran hijau berputar lambat. Sinyal buruk sekali di dalam lemari ini. Badai di luar pasti merusak menara pemancar.

"Ayo... ayo kirim..." bisikku.

FAILED. Tap to retry.

Sialan.

Aku harus keluar. Aku harus lari cari sinyal. Tapi pintu lemari diganjal linggis dari luar. Aku terperangkap.

Tidak apa-apa. Setidaknya aku aman dari dia. Dia di atap. Aku di lemari. Dia tidak bisa masuk, aku tidak bisa keluar. Kita impas. Besok pagi, Aji pasti datang. Atau tetangga curiga. Aku cuma perlu bertahan sampai pagi.

Aku menyandarkan kepala ke tumpukan baju. Aroma kamper dan dry clean yang apek terasa menenangkan.

Namun, di tengah keheningan yang menyesakkan itu, tengkukku meremang. Bukan karena suara, tapi karena sensasi fisik.

Ada aliran udara. Hembusan napas dingin yang berirama, menerpa leher bagian belakangku.

Jantungku serasa berhenti. Lemari ini kayu solid. Rapat. Kedap. Bagaimana bisa ada angin dari arah belakang?

Dengan tangan gemetar hebat, aku menyibakkan deretan gamis yang tergantung. Ujung jariku terulur, berharap menyentuh dinding triplek kasar bagian belakang lemari. Namun, jariku hanya menyapu udara kosong.

Tidak ada dinding. Hanya lubang menganga yang menghembuskan aroma busuk—campuran tanah basah, sisa makanan basi, dan feromon manusia liar.

Jantungku berhenti berdetak sesaat. Aku menyalakan senter HP. Baterai 3%.

Cahaya putih menyorot ke balik baju-baju.

Mataku terbelalak.

Dinding belakang lemari itu... sudah tidak ada.

Tripleknya sudah digergaji rapi. Membentuk lubang persegi panjang yang besar. Gelap.

Dan lubang itu tidak mengarah ke tembok kamar.

Rumah subsidi ini punya celah antar tembok (double wall) yang cukup lebar untuk menghemat material bata. Celah selebar 40 senti.

Senterku menyorot ke dalam celah itu.

Di sana, di ruang sempit di balik lemari pakaianku, ada "ruangan" lain.

Ada karpet busa tipis yang digelar di lantai semen kasar. Ada bantal lepek yang warnanya sudah hitam karena daki. Ada tumpukan bungkus mi instan, kulit kacang, dan botol air mineral berisi cairan kuning pekat.

Dan di dinding bata yang lembap itu... tertempel ratusan foto.

Foto polaroid.

Foto aku tidur. Foto aku makan. Foto aku nonton TV. Foto aku ganti baju. Foto aku menangis.

Ada foto Aji yang matanya dicoret spidol merah. Ada foto Verrel yang ditusuk paku.

Ini bukan sekadar tempat sembunyi.

Ini rumahnya.

Selama ini, lemari pakaianku bukan tempat penyimpanan baju. Lemari ini adalah pintu depan rumahnya.

Setiap kali aku membuka lemari untuk ambil baju, dia ada di sana. Di balik triplek tipis. Mendengarkan napasku. Mencium bau parfumku. Mungkin sesekali mengintip lewat celah serat kayu.

Aku mundur. Punggungku menabrak pintu lemari yang terkunci.

"Tolong..." bisikku tanpa suara.

Aku terperangkap di dalam kotak, dan kotak ini terhubung langsung ke neraka.

Tiba-tiba, aku mendengar suara.

Bukan dari HP. Bukan dari atap.

Dari dalam lubang itu.

Suara gesekan kain. Suara napas berat yang tertahan.

Aku mengarahkan senter lebih dalam ke lorong sempit itu.

Di ujung lorong, sekitar dua meter dari tempatku duduk... ada gundukan kain gelap.

Gundukan itu bergerak.

Itu bukan tumpukan baju kotor.

Itu dia.

Dia tidak naik ke atap untuk pergi.

Dia naik ke atap untuk memutar. Masuk lewat ventilasi lain, turun ke celah dinding ini, dan merangkak kembali ke sini. Ke sarangnya.

Dia ingin menyambutku di "rumah"-nya.

Kepala itu terangkat. Wajah hancur itu tersenyum dalam sorotan senterku. Giginya yang runcing dan kuning tampak berkilat.

"Selamat datang, Tetangga," bisiknya parau.

HP-ku bergetar.

Battery Low. 1%.

Lampu senter mati.

Gelap gulita.

Aku menjerit. Menggedor pintu lemari di belakangku.

"TOLONG! AJI! SIAPAPUN!"

Pintu itu kokoh. Linggis yang dia pasang bekerja dengan sempurna.

Dalam kegelapan pekat, aku mendengar dia merangkak mendekat. Suara lutut dan sikunya menyeret di lantai semen.

Sreeek... sreeek...

Baunya makin dekat. Bau amis darah yang bercampur dengan bau badan yang tidak pernah kena sabun.

"Jangan teriak," suaranya sekarang ada di dalam lemari. Di samping telingaku. "Nanti tetangga bangun."

Aku merasakan tangan dingin yang basah menyentuh kakiku. Merayap naik ke betis. Ke lutut.

Aku menendang. Kakiku mengenai daging yang keras.

Dia terkekeh.

"Kamu wangi sekali malam ini, Aminah. Wangi ketakutan."

Tangan itu mencengkeram pergelangan kakiku. Kuat. Seperti catut besi.

Dia menarikku.

"Masuk yuk. Di dalam hangat."

"ENGGAK! LEPAS!"

Aku mencakar lantai lemari. Mencari pegangan. Tapi jariku hanya menemukan baju-baju gantung yang licin.

Tubuhku terseret masuk ke dalam lubang dinding itu.

Aku melewati batas antara lemari dan tembok. Masuk ke ruang sempit yang pengap.

Punggungku bergesekan dengan dinding bata yang kasar. Kulitku perih.

Dia menarikku semakin dalam. Ke dalam kegelapan abadi di antara dinding-dinding rumah subsidi.

HP-ku terjatuh di lantai lemari.

Layar masih menyala redup sebelum mati total.

Menampilkan live feed terakhir dari CCTV Kamar Tidur.

Di layar itu, terlihat lemari pakaian jati yang berdiri kokoh. Pintunya tertutup rapat, diganjal linggis.

Tenang. Diam.

Tidak ada yang tahu ada pergulatan nyawa di dalamnya.

Dan di sudut layar, notifikasi pesan WA yang tadi gagal, akhirnya berubah status.

Verrel Polisi: Terkirim.

Satu centang abu-abu.

Lalu layar HP mati.

Di dalam dinding, aku berteriak untuk terakhir kalinya sebelum tangan besar yang bau tanah itu membungkam mulutku selamanya.

TAMATTAMAT

Copyright © 2025 OX Media Publishing

← Kembali ke Menu Thriller
Dibaca ... kali
0